Senin, 17 Juni 2013

PERIKATAN (Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Kontrak Perjanjian Dan Undang-Undang)



A.    Pendahuluan
Berdasarkan dengan rumusan pasal 1233 kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang merupakan pasal pertama dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan, yang menyatakan bahwa ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”, selain perjanjian, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa perikatan dapat lahir dari undang-undang . dengan pernyataan ini, pembuat undang-undang hendak menyatakan bahwa hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan dapat terjadi setiap saat, baik karena dikehendaki oleh pihak yang terkait dalam perikatan tersebut, maupun secara yang tidak dikehendaki oleh orang perorangan yang terikat (yang wajib berprestasi) tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apakah yang dimaksud dengan Perikatan?
2.    Ada berapakah macam2 perikatan?

C.    Pembahasan
1.    Pengertian Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “verbintenis”. Menurut ilmu pengetahuan hukum perdata, perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.[1]
Hukum perikatan adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur perikatan yakni, suatu kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, dan subyek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi.[2]
 Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Misalnya jual beli barang, dapat berupa peristiwa misalnya lahirnya seorang bayi, matinya orang, dapat berupa keadaan, misalnya letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang- undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum( legal relation).
Jika dirumuskan, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), dalam bidang hukunm keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Perikatan yang terdapat dalam bidang- bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai berikut:
a) Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain.
b) Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya.
c) Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris dan sebagainya.
d) Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya.[3]

2.    Jenis-Jenis Perikatan
1)   Perikatan yang dilahirkan dari kontrak perjanjian
Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.[4]
Suatu perjanjian dapat dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Sedangkan suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. Meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk mennggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguattkan sesuatu, jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
Diperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjinkan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan  hendak mempergunakannya.
Jika seseorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat perjanjian, bahwa tidak sedemikianlah maksudnya.
Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum.[5]

a.    syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
1)   Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.
Kekhilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.
Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga.
2)   Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3)   Suatu hal tertentu
Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.
4)   Suatu sebab yang halal.
Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripaada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah. Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.[6]
b.    Akibat Suatu Perjanjian
Menurut ketentuan pasal 1338 KUHPer, perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat- syarat pasal 1320 KUHPer berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan- alasan yang cukup menurut undang- undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.[7]
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.[8]
c.    Penafsiran Suatu Perjanjian
1)   Menurut Pasal 1342 KUH Pdt.
“Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran”
2)   Menurut Pasal 1343 KUH Pdt.
“Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf”.
3)   Pasal 1345 KUH Pdt.
“Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian”.[9]
d.   Batalnya Suatu Perjanjian
1)    Batal demi hukum  : suatu perjanjian menjadi batal demi hukum apabila syarat objektif bagi  sahnya suatu perjanjian tidak terpenuhi. Jadi secara yuridis  perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.
2)   Atas permintaan salah satu pihak :  pembatalan dimintakan oleh salah satu pihak misalnya dalam hal ada salah satu pihak yang tidak cakap menurut hukum. Harus ada gugatan kepada Hakim. Pihak lainnya dapat menyangkal hal itu, maka harus ada pembuktian.
UU memberikan kebebasan kepada para pihak apakah akan menghendaki pembatalan atau tidak – oleh UU pembatalan tersebut dibatas sampai 5 thn, diatur oleh pasal  1454 KUHPer  tetapi pembatasan waktu tersebut tidak berlaku bagi pembatalan yang diajukan selaku pembelaan atau tangkisan.
Asas konsensus yang terdapat dalam pasal  1320 KUHPer  tidak berlaku secara keseluruhan  tetapi  ada pengecualiannya. Undang-undang  menetapkan suatu formalitas untuk perjanjian tertentu, misalnya hibah benda tak bergerak, maka harus dibuatkan dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat tertulis, dll. Apabila perjanjian dengan diharuskan dibuat dengan bentuk tertentu tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian itu  batal demi hukum.[10]

2)   Perikatan Yang Dilahirkan Demi Undang-Undang
Menurut pasal 1352 KUHper bahwa: “perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”.
 Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum. Jika seseorang dengan suka rela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu.
Ia memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia kuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas. Ia diwajibkan meneruskan pengurusannya, meskipun orang yang kepentingannya diurusnya, meninggal sebelum urusan diselesaikan, hingga ahli waris-ahli waris orang itu dapat mengoper urusan tersebut.
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian seorang lain, mewajibkan yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalian atau kurang hati-hatinya.[11]
Perikatan-perikatan dapat terhapus oleh karena beberapa sebab yaitu:
-          Karena pembayaran;
-          Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
-          Karena pembaharuan utang;
-          Karena perjumpaan utang atau kompensasi;
-          Karena percampuran utang;
-          Karena pembebasan utangya;
-          Karena musnahnya barang yang terutang;
-          Karena pembatalan;
-          Karena berlakunya suatu syarat batal.[12]

D.    Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Perikatan adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “verbintenis”. Menurut ilmu pengetahuan hukum perdata, perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hukum perikatan adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur perikatan yakni, suatu kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, dan subyek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi.
Adapun jenis-jenis  perikatan ada dua macam yaitu:
1.    Perikatan yang dilahirkan dari kontrak perjanjian
Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Suatu perjanjian dapat dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu perjanjian dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Sedangkan suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
2.    Perikatan Yang Dilahirkan Demi Undang-Undang
Menurut pasal 1352 KUHper bahwa: “perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”.
Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum. Jika seseorang dengan suka rela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu.


























DAFTAR PUSTAKA



HS. Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). 2009.Jakarta: Sinar Grafika.

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html
P4hrul. Wordpress.com/Hokum Perikatan.

Subekti, R dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 2009. Jakarta: PT  Pradnya Paramita.





[1] P4hrul. Wordpress.com/Hokum Perikatan

[2] Salim, HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika. 2009) hal.151

[3] http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html

[4] R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2009) hal.338

[5]  Ibid hal.339
[6] R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2009) hal.339-342

[7] http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html

[8] R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2009) hal.342

[9] Ibid hal.343
[10] http://ndiilindri.wordpress.com/2011/04/12/makalah-hukum-perjanjian/
[11]  R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2009) hal.344-346

[12] Ibid hal. 349

Tidak ada komentar:

Posting Komentar