A.
Pendahuluan
Berdasarkan
dengan rumusan pasal 1233 kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang merupakan
pasal pertama dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang
perikatan, yang menyatakan bahwa ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena Undang-Undang”, selain perjanjian, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa perikatan dapat lahir dari undang-undang
. dengan pernyataan ini, pembuat undang-undang hendak menyatakan bahwa hubungan
hukum dalam lapangan harta kekayaan dapat terjadi setiap saat, baik karena
dikehendaki oleh pihak yang terkait dalam perikatan tersebut, maupun secara
yang tidak dikehendaki oleh orang perorangan yang terikat (yang wajib
berprestasi) tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan
Perikatan?
2. Ada berapakah
macam2 perikatan?
C.
Pembahasan
1. Pengertian
Perikatan
Perikatan adalah terjemahan dari bahasa
Belanda yaitu “verbintenis”. Menurut ilmu pengetahuan hukum perdata, perikatan
adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih
dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas
sesuatu.[1]
Hukum perikatan adalah keseluruhan
peraturan hukum yang mengatur perikatan yakni, suatu kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang
lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas
suatu prestasi, dan subyek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi
prestasi.[2]
Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam
literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang
satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat
berupa perbuatan. Misalnya jual beli barang, dapat berupa peristiwa
misalnya lahirnya seorang bayi, matinya orang, dapat berupa keadaan,
misalnya letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau
bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan
bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang- undang atau oleh masyarakat sendiri
diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara
orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum( legal relation).
Jika dirumuskan, perikatan adalah
hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain
karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui
bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of
property), dalam bidang hukunm keluarga (family law), dalam bidang hukum waris
(law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Perikatan yang terdapat dalam
bidang- bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai
berikut:
a) Dalam bidang hukum kekayaan,
misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming),
pembayaran tanpa utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain.
b) Dalam bidang hukum keluarga,
misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya.
c) Dalam bidang hukum waris,
misalnya perikatan untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang
pewaris dan sebagainya.
d) Dalam bidang hukum pribadi,
misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya.[3]
2. Jenis-Jenis
Perikatan
1)
Perikatan yang dilahirkan dari kontrak perjanjian
Suatu
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.[4]
Suatu
perjanjian dapat dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu perjanjian
dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi
dirinya sendiri. Sedangkan suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian
yang mewajibkan masing-masing pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu.
Pada
umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. Meskipun demikian
adalah diperbolehkan untuk mennggung atau menjamin seorang pihak ketiga, dengan
menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi
tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak
ketiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut
menguattkan sesuatu, jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya.
Diperbolehkan
untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga,
apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri,
atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji
yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjinkan sesuatu seperti itu, tidak boleh
menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.
Jika
seseorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk
ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali
jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat perjanjian,
bahwa tidak sedemikianlah maksudnya.
Semua
perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan
suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum.[5]
a. syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Tiada
sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan
batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai
hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian.
Kekhilafan
itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai
dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali
jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang
tersebut.
Paksaan
yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu perjanjian, merupakan alasan
untuk batalnya perjanjian, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang
pihak ketiga.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Setiap
orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh
undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Tak cakap untuk membuat suatu
perjanjian adalah: orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah
pengampuan, orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
3) Suatu hal tertentu
Hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu
perjanjian. Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang
paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah
barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau
dihitung.
4) Suatu sebab yang halal.
Suatu
perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu
atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Jika tidak dinyatakan suatu sebab,
tetapi ada sesuatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain,
daripaada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah. Suatu sebab
adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan
dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.[6]
b. Akibat Suatu Perjanjian
Menurut ketentuan pasal 1338 KUHPer, perjanjian yang
dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat- syarat pasal 1320 KUHPer berlaku sebagai
undang- undang bagi mereka yang membuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa
persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan- alasan yang cukup menurut
undang- undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.[7]
Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian
tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.[8]
c. Penafsiran
Suatu Perjanjian
1) Menurut
Pasal 1342 KUH Pdt.
“Jika kata-kata suatu perjanjian
jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan
penafsiran”
2) Menurut
Pasal 1343 KUH Pdt.
“Jika kata-kata suatu perjanjian
dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya menyelidiki maksud
kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada memegang teguh arti
kata-kata menurut huruf”.
3) Pasal
1345 KUH Pdt.
“Jika kata-kata dapat diberikan dua
macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan
sifat perjanjian”.[9]
d. Batalnya Suatu Perjanjian
1) Batal demi hukum : suatu perjanjian menjadi
batal demi hukum apabila syarat objektif bagi sahnya suatu perjanjian
tidak terpenuhi. Jadi secara yuridis perjanjian tersebut dianggap tidak
pernah ada.
2) Atas
permintaan salah satu pihak : pembatalan dimintakan oleh salah satu pihak
misalnya dalam hal ada salah satu pihak yang tidak cakap menurut hukum. Harus
ada gugatan kepada Hakim. Pihak lainnya dapat menyangkal hal itu, maka harus
ada pembuktian.
UU memberikan kebebasan kepada para
pihak apakah akan menghendaki pembatalan atau tidak – oleh UU pembatalan
tersebut dibatas sampai 5 thn, diatur oleh pasal 1454 KUHPer tetapi
pembatasan waktu tersebut tidak berlaku bagi pembatalan yang diajukan selaku
pembelaan atau tangkisan.
Asas konsensus yang terdapat dalam
pasal 1320 KUHPer tidak berlaku secara keseluruhan
tetapi ada pengecualiannya. Undang-undang menetapkan suatu
formalitas untuk perjanjian tertentu, misalnya hibah benda tak bergerak, maka
harus dibuatkan dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus dibuat
tertulis, dll. Apabila perjanjian dengan diharuskan dibuat dengan bentuk
tertentu tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum.[10]
2)
Perikatan Yang Dilahirkan Demi Undang-Undang
Menurut pasal 1352 KUHper bahwa: “perikatan-perikatan yang dilahirkan demi
undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai
akibat perbuatan orang”.
Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari
undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal
atau dari perbuatan melanggar hukum. Jika seseorang dengan suka rela, dengan
tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa
pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk
meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili
kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu.
Ia memikul segala kewajiban yang harus
dipikulnya, seandainya ia kuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan
dengan tegas. Ia diwajibkan meneruskan pengurusannya, meskipun orang yang
kepentingannya diurusnya, meninggal sebelum urusan diselesaikan, hingga ahli
waris-ahli waris orang itu dapat mengoper urusan tersebut.
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian seorang lain, mewajibkan yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Setiap orang bertanggung jawab tidak
saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan kelalian atau kurang hati-hatinya.[11]
Perikatan-perikatan dapat terhapus oleh
karena beberapa sebab yaitu:
-
Karena
pembayaran;
-
Karena
penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
-
Karena
pembaharuan utang;
-
Karena
perjumpaan utang atau kompensasi;
-
Karena
percampuran utang;
-
Karena
pembebasan utangya;
-
Karena
musnahnya barang yang terutang;
-
Karena
pembatalan;
-
Karena
berlakunya suatu syarat batal.[12]
D.
Kesimpulan
Dari
uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Perikatan adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “verbintenis”.
Menurut ilmu pengetahuan hukum perdata, perikatan adalah suatu hubungan dalam
lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu
berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hukum perikatan adalah keseluruhan
peraturan hukum yang mengatur perikatan yakni, suatu kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan hukum antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum yang
lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subyek hukum yang satu berhak atas
suatu prestasi, dan subyek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi
prestasi.
Adapun jenis-jenis perikatan ada dua macam yaitu:
1. Perikatan yang dilahirkan dari kontrak
perjanjian
Suatu
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Suatu
perjanjian dapat dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu perjanjian
dengan cuma-cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi
dirinya sendiri. Sedangkan suatu perjanjian atas beban, adalah suatu perjanjian
yang mewajibkan masing-masing pihak untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu.
2. Perikatan Yang Dilahirkan Demi
Undang-Undang
Menurut
pasal 1352 KUHper bahwa: “perikatan-perikatan
yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”.
Perikatan-perikatan
yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang, terbit
dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum. Jika seseorang dengan
suka rela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain
dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat
dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang
diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu.
DAFTAR
PUSTAKA
HS. Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). 2009.Jakarta: Sinar Grafika.
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html
P4hrul. Wordpress.com/Hokum Perikatan.
Subekti, R dan
Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. 2009. Jakarta: PT Pradnya
Paramita.
[1] P4hrul.
Wordpress.com/Hokum Perikatan
[2] Salim, HS, Pengantar
Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika. 2009) hal.151
[3]
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html
[4] R. Subekti dan
Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya
Paramita. 2009) hal.338
[5] Ibid hal.339
[6] R. Subekti dan
Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya
Paramita. 2009) hal.339-342
[7]
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/makalah-hukum-perikatan.html
[8] R. Subekti dan
Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya
Paramita. 2009) hal.342
[9] Ibid hal.343
[11] R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya Paramita. 2009) hal.344-346
[12] Ibid hal. 349
Tidak ada komentar:
Posting Komentar