Senin, 17 Juni 2013

HUKUM KEWARISAN DALAM KUH PERDATA DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM



HUKUM KEWARISAN DALAM KUH PERDATA DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A.     Pendahuluan
Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata) dan Hukum waris menurut Islam. Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan. Oleh karenanya, dalam pembagian warisan harus di lihat terlebih dahulu hukum yang mana yang akan di gunakan oleh para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi. Disini pemakalah akan sedikit mengupas tentang Hukum waris dipandang dari Hukum Perdata (BW) dan Hukum waris menurut Islam.

B.       Hukum Kewarisan KUH Perdata
1.    Pengertian Hukum Kewarisan KUH Perdata
Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum   Perdata/KUH   Perdata   (Burgerlijk   Wetboek/BW).   Dalam   KUH Perdata  hukum  waris  merupakan  bagian  dari  hukum  harta  kekayaan sehingga  pengaturan  hukum  terdapat  dalam  Buku  Ke  II  KUH  Perdata tentang Benda. Definisi hukum kewarisan KUH Perdata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  tidak dimuat secara tegas, tetapi para ahli hukum memberikan  atau mengemukakan  tentang pengertian  hukum kewarisan KUHPerdata. Menurut   para ahli hukum, khususnya mengenai hukum kewarisan Perdata  sebagai berikut :
a.    Pitlo mengemukakan Hukum Waris adalah Kumpulan peraturan yng mengatur hukum mengenai kekayaan karena  wafatnya  seseorang,  yaitu  mengenai  perpindahan kekayaan   yang   ditinggalkan   oleh   di   mati   dan   akibat   dari hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubun gan antara mereka dengan pihak ketiga.
b.    Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengemukakan : Bahwa hukum waris adalah   hukum-hukum  atau peraturan- peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentng kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal  dunia akan beralih  kepada  orang lain yang masih hidup.[1]
c.    Dalam bukunya Sudarsono memuat beberapa pengertian hukum waris menurut dari ahli hukum yaitu :
1)   Mr. Dr.H.D.M.Knol, mengatakan bahwa : Hukum waris mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan  harta peninggalan  dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris atau lebih.
2)   A. Winkler Prins, mengemukakan bahwa : Hukum  waris ialah seluruh  peraturan  yang mengatur pewarisan, menetukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana  hubungan-hubungan  hukum  dari  seorang  yang telah meninggal dunia pindah kepada orang lain, dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya.[2]
Dalam undang-undang ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu: Secara ab intestato (ahli waris menurut ketentuan undang-undang), Secara testameinteir (ahli waris karena ditunjuk dalam surat wasiat).[3]
Mewaris berdasarkan undang-undang disebut  juga mewaris ab-instentato, sedangkan ahli warisnya disebut ab-instaat. Mewaris berdasarkan undang-undang terdiri atas :
a.    Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri
b.    Mewaris berdasarkan penggantian tempat ( hanya karena kematian), dengan syarat :
1)   Orang yang digantikan harus meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris.
2)   Orang yang menggantikan harus keturunan sah dari orang yang digantikan orang yang menggantikan harus memenuhi syarat umum untuk mewaris.
Sedangkan yang tidak berhak mewaris, melalui wasiat syaratnya sebagai berikut :
1.    Mereka yang telah dihukum karena membunuh si pewaris
2.    Mereka yang telah menggelapkan, membinasakan; dan atau memalsu surat wasiat.
3.    Mereka yang dengan paksaan atau kekerasan mencegah pewaris mencabut atau mengubah wasiatnya. [4]

2.    Syarat-syarat Mewaris
a.    Harus ada orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW)[5]
b.    Ahli waris atau para ahli harus ada pada saat pewaris meninggal dunia
c.    Seorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris.[6]

3.    Asas-asas Hukum Waris Perdata
Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu :
a.    Hanyalah hak-hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
b.    Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.
c.    Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.
d.   Asas Individual,  yaitu : Ahli waris adalah  perorangan  (secara pribadi) bukan kelompok ahli waris.
e.    Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak ibu.
f.     Asas Penderajatan,  yaitu : Ahli waris yang derajatnya dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.[7]

4.    Golongan-Golongan Ahli Waris
a.    Golongan I adalah suami istri yang hidup terlama serta anak-anak dan keturunannya. Bagiannya adalah ¼ untuk suami atau istri,anak-anak. Sedangkan keturunan dari anak (cucu) mendapat bagian 1/8.
b.    Golongan II adalah orang tua (ayah dan ibu) dan saudara-saudara serta keturunan dari saudara-saudaranya itu. Bagiannya adalah ¼ sedangkan keturunan dari saudara adalah 1/8.
c.    Golongan III adalah keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu. Bagiannya adalah ½ untuk kakek dan nenek dari pihak ayah yang selanjutnya masing-masing mendapat bagian ¼ sedangkan nenek dari pihak ibu bagiannya mendapat ½.
d.   Golongan IV adalah keturunan dengan garis ke samping (paman dan bibi) baik dari pihak ayah maupun ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari orang yang meninggal tersebut. Bagiannya adalah 1/2.
Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan golongan ahli waris. Yaitu:
a.    Jika tidak ada keempat golongan tersebut, maka harta peninggalan jatuh pada negara.
b.    Golongan yang terdahulu menutup golongan kemudian. Jadi, jika ada ahli waris golongan I maka golongan II tidak dapat mewarisi.
c.    jika golongan I tidak ada, maka golongan II yang mewaris. Akan tetapi golongan III dan IV mungkin mewaris bersama-bersama kalau mereka berlainan garis.
d.   Dalam golongan I termasuk anak-anak yang sah maupun luar kawin yang diakui sah dengan tidak membedakan anak laki-laki/perempuan dan perbedaan umur.
e.    Apabila si meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri atau juga saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi pasal 859, warisan harus dibagi dalam dua bagian yang sama. Pembagian itu berupa satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis dari pihak bapak lurus ke atas dan satu bagian lagi untuk keluarga dari pihak ibu.[8]
Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahki waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama. Dalam hal ini bila mana baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala utangnya, sekedar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.[9]

5.    Ahli Waris Yang Tidak Menerima Harta Warisan
a.    Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana kerena dipersalahkan membunuh atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris
b.    Seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah dan mengadukan pewaris bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih.
c.    Ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat.
d.   Seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.[10]

C.       Hukum Kewarisan KHI
a.    Pengertian Hukum Kewarisan
Menurut Idris  Djakfar  dan  Taufik  Yahya  mendefinisikan   hukum  kewarisan adalah: “ Seperangkat ketentuan yang membahas tentang cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan  tersebut berdasarkan kepada Wahyu Illahi yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasannya yang diberikan  oleh  Nabi  Muhammad  SAW,  dalam  istilah  arab  disebut Faraidl.[11]
Dalam Buku II Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan : Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.[12]

b.   Syarat-Syarat Mewaris
Sebelum seseorang mewaris haruslah dipenuhi tiga syarat yaitu :
a)    Meninggal dunianya pewaris
Meninggalnya pewaris mutlak harus dipenuhi karena seseorang baru disebut pewaris setelah dia meninggal  dunia yang berarti jika seseorang memberikan hartanya kepada ahli waris ketika dia masih hidup itu bukan waris. Meninggal dunia atau mati dapat dibedakan :
1)   Mati haqiqy (sejati), adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra.
2)   Mati hukmy (menurut putusan hakim), yaitu kematian yang disebabkan  adanya  putusan  hakim,  baik  orangnya  masih hidup maupun sudah mati.
3)   Mati taqdiry (menurut dugaan), yaitu  kematian  yang  didasarkan  ada  dugaan  yang  kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.
b)   Hidupnya ahli waris
Hidupnya  ahli  waris  harus  jelas  pada  saat  pewaris  meninggal dunia  karena  seseorang  akan  mewaris  jika  dia  masih  hidup ketika pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan.
c)    Tidak ada penghalang-penghalang untuk mewaris
Tidak  terdapat  salah  satu  dari  sebab  terhalangnya  seseorang untuk menerima warisan.[13]

c.    Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Asas-asas  Hukum  Kewarisan  Islam  dapat  digali  dari  keseluruhan ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasan tambahan  dari hadist Nabi Muhammad  SAW. Dalam hal ini dapat dikemukakan lima asas :
a)    Asas Ijbari
yaitu  peralihan  harta  dari  orang  yang  telah  meninggal  dunia kepada  orang  yang  masih  hidup  berlaku  dengan  sendirinya tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli waris. Seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih besar dari warisan  yang ditinggalkannya,  ahli waris tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
b)   Asas Bilateral
Bahwa  seseorang  menerima  hak  kewarisan  dari  kedua  belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
c)    Asas Individual
Bahwa harta warisan dapat dibag-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya     tanpa  tergantung  dan  terikat  dengan  ahli  waris lainnya.   Keseluruhan   harta   warisan   dinyatakan   dalam   nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar masing-masing.  Bisa  saja  harta  warisan  tidak    dibagi-bagikan asal  ini  dikehendaki  oleh  ahli  waris  yang  bersangkutan,  tidak dibagi-baginya   harta   warisan   itu   tidak   menghapuskan   hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan.
d)   Asas Keadilan Berimbang
Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan  antara hak dan kewajiban    antara   yang   diperoleh   dengan   keperluan    dan kegunaan.  Secara  dasar  dapat  dikatakan  bahwa  faktor perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan artinya laki-laki mendapat hak kewarisan begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan sebanding dengan yang didapat oleh laki-laki.
e)    Asas Kewarisan Semata Kematian
Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia dan selama   yang   mempunyai   harta   masih   hidup   maka   secara kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.[14]

d.   Ahli Waris Yang Tidak Menerima Harta Warisan
Dalam KHI pasal 173 Seorang  terhalang  menjadi  ahli  waris  apabila  dengan  putusan  hakim  yang  telah  mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a.    Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris
b.    Dipersalahkan  secara  memfitnah  telah mengajukan  pengaduan  bahwa  pewaris  telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Penghalang dalam istilah ulama faraidl adalah kondisi yang menyebabkan seorang tidak dapat menerima pusaka, padahal memiliki cakup sebab dan cukup pula syarat-syaratnya. Penghalang yang disepakati oleh segenap ulama hanyalah tiga, yaitu :
a.    Pembunuhan, yang dimaksud adalah apabila seorang waris membunuh warisnya,maka dia tidak mewarisi harta muwarisnya itu.
b.    Berbeda agama, maksudnya adalah agama si waris berbeda dengan agama si muwaris.
c.    Berlainan tempat, maksudnya adalah berlainan pemerintahan yang diikuti oleh waris dan muwaris.[15]

e.    Golongan-Golongan Ahli Waris
Dalam KHI pasal 174 disebutkan bahwasnya  :
1.    Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a)    Menurut hubungan darah:
golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
1)   Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
2)    Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
2.    Apabila  semua  ahli waris  ada,  maka  yang  berhak  mendapat  warisan  hanya  : anak,  ayah,  ibu, janda atau duda.

D.       Persamaan Antara Hukum Waris Perdata Barat Dengan Hukum Waris Islam
1.    Segala harta warisan akan berpindah dari tangan orang yang meninggalkan warisan kepada semua ahli warisnya.
2.    Dalam  hal  biaya  pemakaman  mayat,  tidak  ada  perbedaan  antara  hukum waris Islam dan Nasional, artinya sama yaitu bahwa harta warisan yang pertama harus dimanfaatkan untuk membayar biaya pemakaman mayat tersebut.
3.    Subjek hukumnya sama yaitu antara si Pewaris dan ahli waris.
4.    Unsur pewarisannya sama, secara individual memberi kebebasan kepada seseorang yang memiliki harta untuk membuat testament.
5.    Yang berhak mewaris pada dasarnya adalah sama, yaitu keluarga sedarah dari si Pewaris.[16]


E.       Perbedaan Antara Hukum Waris Perdata Barat Dengan Hukum Waris Islam
Bentuk harta warisan Pada dasarnya berpindah dari tangan yang meninggal dunia tehadap  semua  ahli  waris  berupa  barang-barang  peninggalan  dalam  keadaan bersih, artinya sudah dikurangi dengan pembayaran utang-utang dari orang yang meninggalkan warisan serta dengan pembayaran-pembayaran lain yang disebabkan oleh meninggalkanya orang yang meninggalkan warisan. Yang diwariskan kepada semua ahli waris itu tidak saja hanya masalah-masalah yang ada manfaatnya bagi mereka, akan tetapi utang-utang mereka yang meninggalkan warisan, dalam arti bahwa kewajiban membayar utang-utang itu pada kenyataannya berpindah juga kepada semua ahli warisnya.
Banyaknya pembagian dari harta warisan Menurut hukum agama Islam terdapat dua golongan ahli waris, yaitu ke 1 para “asabat” yang dianggap dengan sendirinya sejak dahulu kala sebelum agama Islam menurut hukum di tanah Arab, merupakan ahli waris, dan ke 2; orang-orang yang oleh beberapa pasal dari Kitab Al-Qur’an ditambahkan selaku ahli waris pula (koranische erfgenamen) . Hukum BW mengenal 4 golongan ahli waris yang bergiliran hak atas harta warisan, dengan pengertian apabila golongan ke 1 tidak ada, maka golongan ke 2 lah yang memiliki hak, demikianlah selanjutnya.[17]

F.        Kesimpulan
Dengan adanya aturan-aturan yang ada dalam KUH-Perdata mengenai hal waris, maka kita dapat menjadikannya sebagai acuan untuk menyelesaikan segala bentuk sengketa waris yang terjadi. Namun bila KUH-Perdata tidak dapat menyelesaikan sengketa waris tersebut, maka dapat di gunakan alternative lain yaitu dengan menggunakan referensi Hukum Agama ataupun KHI.
Hukum kewarisan dalam KHI di samping  memuat  hal-hal  baru dalam pewarisan  Islam juga terdapat kekurang  sempurnaan  dan tampak  masih  banyak  yang  belum jelas, sehingga masih perlu disempurnakan. Namun demikian, ketentuan muatan  hukum  kewarisan  sebagai  bagian  dari  fiqh  Indonesia  yang juga berdimensi  qanun (hukum positif) bagi negara Indonesia  perlu dipertahankan dan dikembangkan untuk diterapkan. Terutama bagi instansi terkait dan masyarakat yang memerlukannya.  Hal ini sangat penting untuk mengisi kekosongan hukum yang selama ini dibutuhkan oleh masyarakat muslim Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Fiqh Mawaris. Semarang : Pustaka Rizki Putra

Bisri, Cik Hasan. 1999. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Logos

Djakfar, Idris  dan Taufik Yahya. 1995. Kompilasi Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya

H.R.Otje Salman S, dan Mustofa Haffas. 2006. Hukum Waris Islam. Bandung : PT. Refika Aditama

Ramulyo, M.Idris. 2004. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW). Jakarta : Sinar Grafika

R. Subekti dan R Tjitrosudibio. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita

Sudarsono. 1991. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Suparman, Eman.  2005. Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif  Islam, Adat dan BW. Bandung : Refika Aditama,

Soebekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta : Intermasa

Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta : Kencana






WEBSITE


http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/0


[1] M.Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta : Sinar Grafika,2004), hlm. 84
[2] Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta : PT.Rineka Cipta, 1991) hlm. 12
[3] Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta : Intermasa, 1995), hlm. 95
[4] Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif  ISLAM, ADAT dan BW (Bandung : Refika Aditama, 2005), hlm. 53
[5] Pasal 830 BW “Perwarisan hanya berlangsung karena kematian”
[6]Basyir, Hukum Perdata Tentang Waris dikutip dari : http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/05/warisan-dalam-hukum-perdata-atau.html accessed 08 April 2013
[7] M. Idris Ramulyo, Perbandingan ..., hlm. 95-96

[8]Basyir, Hukum Perdata Tentang Waris dikutip dari : http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/05/warisan-dalam-hukum-perdata-atau.html accessed 08 April 2013
[9] R. Subekti dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1999), hlm. 221
[10]Basyir, Hukum Perdata Tentang Waris dikutip dari : http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/05/warisan-dalam-hukum-perdata-atau.html accessed 08 April 2013
[11] Idris  Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm.3-4
[12] Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Logos, 1999), hlm. 45
[13] H.R.Otje Salman S, dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, ( Bandung : PT. Refika Aditama,2006), hlm. 5
[14]Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta : Kencana,2008), hlm. 16-28
[15] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 41-53
[16] Eman Suparman, Hukum ..., hlm. 75
[17] Ibid., hlm. 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar