HUKUM KEWARISAN DALAM
KUH PERDATA
DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A.
Pendahuluan
Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian
harta warisan tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya
pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah
menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata) dan Hukum waris
menurut Islam. Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti
masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada
ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka
gunakan dalam membagi harta warisan. Oleh karenanya, dalam pembagian warisan
harus di lihat terlebih dahulu hukum yang mana yang akan di gunakan oleh para
ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi. Disini pemakalah
akan sedikit mengupas tentang Hukum waris dipandang dari Hukum Perdata (BW) dan
Hukum waris menurut Islam.
B.
Hukum Kewarisan KUH Perdata
1.
Pengertian Hukum Kewarisan KUH Perdata
Hukum Perdata yang berlaku di
Indonesia sampai saat ini masih memakai ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang
Hukum Perdata/KUH Perdata
(Burgerlijk Wetboek/BW). Dalam KUH Perdata
hukum
waris merupakan
bagian
dari
hukum harta
kekayaan sehingga pengaturan
hukum
terdapat
dalam Buku Ke II
KUH
Perdata tentang Benda. Definisi hukum kewarisan KUH Perdata dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tidak dimuat secara tegas, tetapi para ahli hukum memberikan
atau mengemukakan tentang pengertian hukum kewarisan KUHPerdata. Menurut para ahli hukum,
khususnya mengenai hukum kewarisan Perdata sebagai berikut :
a.
Pitlo mengemukakan Hukum Waris adalah
Kumpulan peraturan yng mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang,
yaitu mengenai
perpindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh
di
mati dan akibat dari hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubun gan antara mereka dengan pihak ketiga.
b.
Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, mengemukakan : Bahwa
hukum waris adalah hukum-hukum
atau peraturan- peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan
kewajiban tentng kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal
dunia akan beralih
kepada orang lain yang masih hidup.[1]
c.
Dalam bukunya Sudarsono memuat beberapa pengertian hukum waris menurut dari ahli hukum yaitu :
1)
Mr. Dr.H.D.M.Knol, mengatakan bahwa : Hukum waris
mengatur ketentuan-ketentuan tentang perpindahan harta peninggalan dari orang yang telah meninggal kepada seorang ahli waris atau lebih.
2)
A. Winkler Prins, mengemukakan bahwa :
Hukum waris ialah seluruh peraturan yang mengatur pewarisan, menetukan sejauh mana dan dengan cara bagaimana
hubungan-hubungan
hukum dari seorang yang telah meninggal dunia pindah kepada orang lain,
dan dengan demikian hal itu dapat diteruskan oleh keturunannya.[2]
Dalam undang-undang ada dua cara untuk
mendapatkan warisan, yaitu: Secara ab intestato (ahli waris menurut
ketentuan undang-undang), Secara testameinteir (ahli waris karena
ditunjuk dalam surat wasiat).[3]
Mewaris berdasarkan undang-undang disebut juga mewaris ab-instentato, sedangkan
ahli warisnya disebut ab-instaat. Mewaris berdasarkan undang-undang
terdiri atas :
a.
Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri
b.
Mewaris berdasarkan penggantian tempat ( hanya karena
kematian), dengan syarat :
1)
Orang yang digantikan harus meninggal dunia lebih
dahulu dari si pewaris.
2)
Orang yang menggantikan harus keturunan sah dari orang
yang digantikan orang yang menggantikan harus memenuhi syarat umum untuk
mewaris.
Sedangkan yang tidak berhak mewaris, melalui wasiat
syaratnya sebagai berikut :
1.
Mereka yang
telah dihukum karena membunuh si pewaris
2.
Mereka yang
telah menggelapkan, membinasakan; dan atau memalsu surat wasiat.
2.
Syarat-syarat
Mewaris
a.
Harus ada
orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW)[5]
b.
Ahli waris
atau para ahli harus ada pada saat pewaris meninggal dunia
c.
Seorang ahli
waris harus cakap serta berhak mewaris.[6]
3.
Asas-asas Hukum Waris Perdata
Dalam hukum waris perdata berlaku asas-asas yaitu :
a.
Hanyalah hak-hak
dan kewajiban dalam
lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan.
b.
Adanya Saisine bagi ahli waris, yaitu : sekalian ahli waris dengan sendirinya secara otomatis
karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, dan segala hak
serta segala kewajiban dari seorang yang meninggal dunia.
c.
Asas Kematian, yaitu ; Pewarisan hanya karena kematian.
d.
Asas Individual,
yaitu
: Ahli waris adalah perorangan
(secara
pribadi) bukan kelompok ahli waris.
e.
Asas Bilateral, yaitu : Seseorang mewaris dari pihak bapak dan juga dari pihak ibu.
f.
Asas Penderajatan, yaitu
: Ahli waris
yang
derajatnya
dekat dengan pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.[7]
4.
Golongan-Golongan
Ahli Waris
a.
Golongan I
adalah suami istri yang hidup terlama serta anak-anak dan keturunannya.
Bagiannya adalah ¼ untuk suami atau istri,anak-anak. Sedangkan keturunan dari
anak (cucu) mendapat bagian 1/8.
b.
Golongan II
adalah orang tua (ayah dan ibu) dan saudara-saudara serta keturunan dari
saudara-saudaranya itu. Bagiannya adalah ¼ sedangkan keturunan dari saudara
adalah 1/8.
c.
Golongan III
adalah keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu. Bagiannya
adalah ½ untuk kakek dan nenek dari pihak ayah yang selanjutnya masing-masing
mendapat bagian ¼ sedangkan nenek dari pihak ibu bagiannya mendapat ½.
d.
Golongan IV
adalah keturunan dengan garis ke samping (paman dan bibi) baik dari pihak ayah
maupun ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari orang
yang meninggal tersebut. Bagiannya adalah 1/2.
Beberapa ketentuan yang
perlu diperhatikan sehubungan dengan golongan ahli waris. Yaitu:
a.
Jika tidak
ada keempat golongan tersebut, maka harta peninggalan jatuh pada negara.
b.
Golongan yang
terdahulu menutup golongan kemudian. Jadi, jika ada ahli waris golongan I maka
golongan II tidak dapat mewarisi.
c.
jika
golongan I tidak ada, maka golongan II yang mewaris. Akan tetapi golongan III
dan IV mungkin mewaris bersama-bersama kalau mereka berlainan garis.
d.
Dalam golongan
I termasuk anak-anak yang sah maupun luar kawin yang diakui sah dengan tidak
membedakan anak laki-laki/perempuan dan perbedaan umur.
e.
Apabila si
meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri atau juga
saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi pasal 859, warisan harus dibagi
dalam dua bagian yang sama. Pembagian itu berupa satu bagian untuk sekalian
keluarga sedarah dalam garis dari pihak bapak lurus ke atas dan satu bagian
lagi untuk keluarga dari pihak ibu.[8]
Menurut undang-undang yang berhak untuk menjadi ahki waris
ialah, para keluarga sedarah, baik sah, maupun
luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama. Dalam hal ini bila mana
baik keluarga sedarah, maupun si yang hidup terlama di antara suami istri,
tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik
negara, yang mana berwajib akan melunasi segala utangnya, sekedar harga harta
peninggalan mencukupi untuk itu.[9]
5.
Ahli
Waris Yang Tidak Menerima Harta Warisan
a.
Seorang ahli
waris yang dengan putusan hakim telah dipidana kerena dipersalahkan membunuh
atau setidak-tidaknya mencoba membunuh pewaris
b.
Seorang ahli
waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena dipersalahkan memfitnah
dan mengadukan pewaris bahwa pewaris difitnah melakukan kejahatan yang diancam
pidana penjara empat tahun atau lebih.
c.
Ahli waris
yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau mencegah pewaris untuk
membuat atau menarik kembali surat wasiat.
d.
Seorang ahli
waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat.[10]
C.
Hukum Kewarisan KHI
a.
Pengertian Hukum Kewarisan
Menurut Idris
Djakfar dan Taufik
Yahya
mendefinisikan hukum kewarisan
adalah: “ Seperangkat ketentuan yang membahas tentang cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasarkan kepada Wahyu Illahi yang terdapat dalam Al-Qur’an dan penjelasannya yang diberikan
oleh Nabi
Muhammad
SAW, dalam istilah arab disebut Faraidl.[11]
Dalam Buku II
Pasal 171 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan
: Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.[12]
b. Syarat-Syarat Mewaris
Sebelum seseorang mewaris haruslah dipenuhi tiga syarat yaitu :
a)
Meninggal dunianya pewaris
Meninggalnya pewaris mutlak harus
dipenuhi karena seseorang baru disebut pewaris setelah dia meninggal dunia yang berarti jika
seseorang memberikan hartanya kepada ahli waris ketika dia masih hidup itu bukan waris.
Meninggal dunia atau mati dapat dibedakan :
1)
Mati haqiqy (sejati), adalah kematian yang dapat disaksikan
oleh panca indra.
2)
Mati hukmy (menurut putusan hakim), yaitu kematian yang disebabkan adanya putusan
hakim, baik orangnya
masih hidup maupun sudah mati.
3)
Mati taqdiry (menurut dugaan), yaitu kematian yang didasarkan
ada dugaan yang
kuat bahwa orang yang bersangkutan telah mati.
b)
Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus
jelas pada
saat pewaris
meninggal dunia karena
seseorang
akan mewaris jika
dia
masih hidup ketika pewaris meninggal
dunia. Ahli waris merupakan
pengganti untuk menguasai warisan yang
ditinggalkan oleh
pewaris, perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan.
c)
Tidak ada penghalang-penghalang untuk mewaris
Tidak terdapat
salah
satu
dari
sebab terhalangnya seseorang untuk menerima warisan.[13]
c.
Asas-asas Hukum Kewarisan Islam
Asas-asas Hukum Kewarisan
Islam
dapat
digali
dari
keseluruhan ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
penjelasan tambahan dari hadist Nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini dapat dikemukakan lima asas :
a)
Asas Ijbari
yaitu peralihan harta
dari orang yang
telah meninggal dunia kepada orang yang
masih hidup
berlaku
dengan
sendirinya
tanpa tergantung kepada kehendak pewaris atau ahli
waris. Asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli
waris. Seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih besar dari warisan
yang ditinggalkannya,
ahli waris tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang yang dibayar hanya sebesar warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
b)
Asas Bilateral
Bahwa seseorang menerima hak kewarisan
dari
kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak
kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.
c)
Asas Individual
Bahwa harta warisan dapat dibag-bagi untuk dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya
tanpa tergantung dan terikat
dengan ahli
waris lainnya. Keseluruhan harta
warisan dinyatakan
dalam nilai tertentu
yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar masing-masing. Bisa
saja harta
warisan
tidak
dibagi-bagikan asal ini dikehendaki
oleh
ahli
waris yang bersangkutan,
tidak dibagi-baginya harta warisan itu
tidak menghapuskan
hak mewaris para ahli waris yang bersangkutan.
d)
Asas Keadilan Berimbang
Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban antara yang
diperoleh
dengan keperluan dan kegunaan.
Secara
dasar
dapat dikatakan bahwa
faktor
perbedaan jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan artinya laki-laki mendapat hak kewarisan begitu pula perempuan
mendapat hak kewarisan sebanding dengan yang didapat oleh laki-laki.
e)
Asas Kewarisan
Semata Kematian
Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain
berlaku setelah yang mempunyai harta
tersebut meninggal dunia dan selama yang mempunyai harta masih hidup
maka secara
kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada orang lain.[14]
d.
Ahli
Waris Yang Tidak Menerima Harta Warisan
Dalam KHI pasal
173 Seorang terhalang
menjadi
ahli waris
apabila dengan putusan
hakim
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a.
Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris
b.
Dipersalahkan secara
memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris
telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Penghalang dalam istilah ulama faraidl adalah
kondisi yang menyebabkan seorang tidak dapat menerima pusaka, padahal memiliki
cakup sebab dan cukup pula syarat-syaratnya. Penghalang yang disepakati oleh
segenap ulama hanyalah tiga, yaitu :
a.
Pembunuhan, yang dimaksud adalah apabila seorang waris
membunuh warisnya,maka dia tidak mewarisi harta muwarisnya itu.
b.
Berbeda agama, maksudnya adalah agama si waris berbeda
dengan agama si muwaris.
c.
Berlainan tempat, maksudnya adalah berlainan
pemerintahan yang diikuti oleh waris dan muwaris.[15]
e.
Golongan-Golongan
Ahli Waris
Dalam KHI pasal
174 disebutkan bahwasnya
:
1.
Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
a)
Menurut hubungan darah:
golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
1)
Golongan
perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
2)
Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
2.
Apabila semua ahli waris
ada,
maka
yang
berhak
mendapat warisan
hanya
: anak,
ayah,
ibu, janda atau duda.
D.
Persamaan Antara Hukum Waris Perdata Barat Dengan Hukum Waris Islam
1.
Segala harta warisan
akan berpindah dari tangan orang yang meninggalkan warisan kepada semua ahli
warisnya.
2.
Dalam hal biaya pemakaman mayat, tidak ada perbedaan antara hukum waris Islam dan Nasional, artinya sama yaitu bahwa harta warisan yang pertama harus dimanfaatkan untuk membayar
biaya pemakaman mayat tersebut.
3.
Subjek hukumnya sama yaitu antara si Pewaris dan ahli
waris.
4.
Unsur pewarisannya sama, secara individual memberi kebebasan kepada seseorang yang memiliki harta untuk membuat testament.
5.
Yang berhak mewaris
pada dasarnya adalah
sama, yaitu keluarga
sedarah dari si Pewaris.[16]
E.
Perbedaan Antara Hukum Waris Perdata
Barat Dengan Hukum Waris Islam
Bentuk harta warisan Pada dasarnya
berpindah dari tangan yang meninggal dunia tehadap semua ahli waris
berupa barang-barang peninggalan dalam
keadaan
bersih, artinya sudah dikurangi dengan pembayaran utang-utang
dari orang yang meninggalkan warisan
serta dengan pembayaran-pembayaran lain
yang disebabkan oleh meninggalkanya orang yang meninggalkan warisan.
Yang diwariskan kepada
semua ahli waris itu tidak saja hanya masalah-masalah yang ada manfaatnya
bagi mereka, akan tetapi
utang-utang mereka yang meninggalkan warisan, dalam arti bahwa kewajiban membayar utang-utang itu pada
kenyataannya berpindah juga
kepada semua ahli warisnya.
Banyaknya pembagian dari harta warisan Menurut
hukum agama Islam terdapat dua golongan ahli waris, yaitu ke
1 para “asabat” yang dianggap
dengan sendirinya sejak dahulu kala sebelum agama Islam menurut hukum di tanah Arab,
merupakan ahli waris,
dan ke 2; orang-orang yang oleh beberapa
pasal dari Kitab Al-Qur’an ditambahkan selaku ahli waris
pula
(koranische erfgenamen) . Hukum
BW mengenal 4 golongan ahli waris yang
bergiliran hak atas harta warisan,
dengan pengertian apabila golongan
ke 1 tidak ada, maka golongan ke 2 lah yang
memiliki hak, demikianlah selanjutnya.[17]
F.
Kesimpulan
Dengan
adanya
aturan-aturan yang ada dalam KUH-Perdata mengenai hal waris, maka kita dapat
menjadikannya sebagai acuan untuk menyelesaikan segala bentuk sengketa waris
yang terjadi. Namun bila KUH-Perdata tidak dapat menyelesaikan sengketa waris
tersebut, maka dapat di gunakan alternative lain yaitu dengan menggunakan
referensi Hukum Agama ataupun KHI.
Hukum kewarisan dalam KHI di samping
memuat
hal-hal baru dalam pewarisan
Islam juga terdapat
kekurang sempurnaan
dan tampak
masih
banyak
yang belum jelas, sehingga masih perlu disempurnakan. Namun demikian, ketentuan muatan hukum kewarisan
sebagai
bagian dari
fiqh Indonesia yang juga berdimensi
qanun (hukum positif) bagi negara Indonesia
perlu dipertahankan dan
dikembangkan untuk diterapkan. Terutama bagi instansi terkait dan masyarakat yang memerlukannya.
Hal ini sangat penting untuk mengisi kekosongan hukum yang selama ini
dibutuhkan oleh masyarakat muslim Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1997. Fiqh Mawaris.
Semarang : Pustaka Rizki Putra
Bisri, Cik Hasan. 1999.
Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Logos
Djakfar, Idris dan Taufik Yahya.
1995.
Kompilasi Hukum Kewarisan Islam.
Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya
H.R.Otje Salman S, dan Mustofa Haffas. 2006.
Hukum Waris Islam.
Bandung
: PT. Refika Aditama
Ramulyo, M.Idris.
2004. Perbandingan
Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (BW). Jakarta : Sinar Grafika
R. Subekti
dan R Tjitrosudibio. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta :
Pradnya Paramita
Sudarsono. 1991. Hukum Waris dan Sistem Bilateral. Jakarta : PT. Rineka
Cipta
Suparman, Eman. 2005. Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif
Islam, Adat dan BW. Bandung : Refika Aditama,
Soebekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Jakarta :
Intermasa
Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam.
Jakarta : Kencana
WEBSITE
[1] M.Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum
Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW),
(Jakarta : Sinar Grafika,2004), hlm. 84
[2] Sudarsono,
Hukum Waris dan Sistem Bilateral, (Jakarta : PT.Rineka Cipta, 1991) hlm.
12
[3] Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Pidana,
(Jakarta : Intermasa, 1995), hlm. 95
[4] Eman
Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif ISLAM, ADAT dan BW
(Bandung : Refika Aditama, 2005), hlm. 53
[5] Pasal 830 BW “Perwarisan hanya
berlangsung karena kematian”
[6]Basyir, Hukum Perdata
Tentang Waris dikutip dari : http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/05/warisan-dalam-hukum-perdata-atau.html
accessed 08 April 2013
[8]Basyir, Hukum Perdata Tentang
Waris dikutip dari : http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/05/warisan-dalam-hukum-perdata-atau.html
accessed 08 April 2013
[9] R. Subekti
dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta :
Pradnya Paramita, 1999), hlm. 221
[10]Basyir, Hukum Perdata
Tentang Waris dikutip dari : http://basyir-accendio.blogspot.com/2012/05/warisan-dalam-hukum-perdata-atau.html
accessed 08 April 2013
[11] Idris
Djakfar dan Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam (Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya, 1995), hlm.3-4
[12] Cik Hasan
Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta : Logos, 1999), hlm. 45
[13] H.R.Otje Salman S,
dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, ( Bandung
: PT. Refika Aditama,2006), hlm. 5
[15] Teungku Muhammad Hasbi
Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1997),
hlm. 41-53
[17] Ibid., hlm. 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar