A.
PENDAHULUAN
Kaum muslimin
abad pertama hijriyah jika bertemu dengan ayat-ayat mutasyabihat atau ayat-ayat
yang membahas mengenai sifat-sifat Tuhan, tidak mau membicarakan isinya dan
juga tidak mau menakwilkan, meskipun mereka berpendirian seharusnya tidak
dipahami sebagaimana makna lahirnya, karena Allah swt, Maha Suci dari persamaan
dengan makhluknya. Karena itu persoalan
sifat tidak pernah menjadi pembicaraan pada masa sahabat dan tabiin. Waktu
mereka berguna untuk menghadapi yang lebih penting, yaitu penyiaran Islam dan
memperkuat dasar-dasar Negara yang baru berdiri. Baru pada masa sesudah
mereka, perdebatan mengenai sifat-sifat Allah swt mulai ramai dibicarakan.
Setidaknya telah muncul beberapa aliran yang berusaha membicarakan mengenai
sifat-sifat Allah SWT. Tarik–menarik di antara aliran-aliran
kalam dalam menyelesaikan dalam persoalan ini, tampaknya dipicu oleh truth
claim yang di bangun atas dasar kerangka berfikir masing-masing Aliran dan
klaim tentang ketauhidan Allah. Tiap –tiap aliran mengaku bahwa fahamnya dapat
menyucikan dan memelihara keesaan Allah.[1]
B.
RUMUSAN MASALAH
Bagiamana Pendapat aliran-aliran kalam mengenai sifat-sifat Tuhan ?
C.
PEMBAHASAN
1.
Pendapat aliran-aliran kalam mengenai sifat-sifat Tuhan
a)
Mu’tazilah
Jadi menurut Mu’tazilah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat
sebagaimana pendapat golongan lain. Apa yang dipandang sifat dalam
pendapat golongan, bagi Mu’tazillah
tidak lain adalah Zat Allah sendiri.
Untuk menyucikan
keesaan Tuhan, golongan Mu’tazillah
menafi’kan sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan
Mu’tazilah mengklaim dirinya sebagai golongan Ahlut tauhid Wal ‘Adil. Allah itu
benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa.
Kaum mu’tazilah mencoba
menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat. Definisi mereka tentang Tuhan,
sebagaimana dijelaskan oleh al-asy’ari,
bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan,
tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka
tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap
mengetahui, berkuasa,dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan
sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya tuhan
tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan itu
sendiri.[2]
ØPandangan tokoh-tokoh mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan :
1) An –Nazhzham menfikan pengetahuan,
kekuasaan, pendengaran, melihat dan qadim dengan dirinya sendiri, bukan dengan
kekuasaan, perkehidupan, penglihatan dan keqadiman. Demikian pula
dengan sifat-sifat Allah yang lain.
An –Nazhzham mengatakan bahwa jika
ditetapkan bahwa Allah itu adalah dzat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar,
melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya (bukan
sifat-Nya).
2) Menurut Abu al-Huzail
esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri. Demikian pula kekuasaan,
pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-sifat yang lain. Ia
berkata aku nyatakan Allah “bersifat” tahu, artinya aku nyatakan bahwa pada-Nya
terdapat pengetahuan dan pengetahuan itu adalah dzat-Nya.
Arti “Tuhan mengetahui
dengan esensinya” kata al-Jubba’i, ialah untuk mengetahui, Tuhan tidak
berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Sebaliknya
Abu hasyim berpendapat bahwa arti “Tuhan mengetahui melalui esensinya”,
ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui.[3]
b)
Asy’ariyah
Kaum Ay’ariyah berlawanan dengan Mu’tazilah di atas. Mereka
dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut al-Asy’ari sendiri
tidak dapat di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena
perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan Tuhan mengetahui, menghendaki,
berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan,
kemauan, dan daya.
Dan
menurut al- Baghdadi, terdapat konsesus di kalangan kaum asy’ariah bahwa
daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan
adalah kekal.
Sifat –sifat ini kata al-
ghazali, tidaklah sama dengan, malahan lain dari, esensi Tuhan, tetapi
berwujud dalam esensi itu sendiri.
Uraian –uraian ini
juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum Asy’ariah mengatakan
bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.
Asy’ari
mendasarkan pendapatnya kepada apa yang dilihatnya pada manusia dan sifatnya.
Atau dengan sebutan lain, Asy’ariyah mengharuskan berlakunya soal-soal
kemanusiaan pada Tuhan, atau mengharuskan berlakunya hukum yang berlaku pada
alam lahir dan alam ghaib. Sifat-sifat zat Tuhan semuanya azali, oleh karenanya
tidak mungkin iradah-Nya baru (hadis) seperti yang dikatakan Muktazilah.
Golongan Asy’ariyah mempersamakan Tuhan dengan manusia dalam soal sifat
dikarenakan menurut mereka sifat-sifat Tuhan bukanlah zat-Nya, bukan pula lain
dari zat-nya.
Jika diamati
lebih cermat, kontradiksi pernyataan di atas nampak jelas sekali. “bukan
zat-Nya” berarti sifat-sifat itu bukan zat-Nya, akan tetapi “bukan lain dari
zat-Nya” berarti sifat-sifat itu menjadi satu dengan zat-Nya (hakikat zat).
Dari pendapat asy’ariyah yang demikian ini terlihat seolah-olah mereka menerima
pandangan Muktazilah, tetapi sebenarnya tidak demikian, golongan Asy’ariyah
tetap menolak pandangan Muktazilah, sebab mereka memiliki penafsiran terhadap
perkataan “bukan lain zat” dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu tidak bisa
lepas dari zat-Nya.[4]
c)
Maturidiyah
Tampaknya paham al-Maturidi
tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tzilah, perbedannya al-Maturidi
mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat
tuhan.
Aliran ini mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus
didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman
azaly, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat
yang berhubungan dengan Af’al seperti menciptakan, menghidupkan dan lain-lain.
Sifat-sifat tersebut menurut golongan maturidiyah tidak boleh diperbincangkan
apakah hakikat zat atau bukan.
Sementara itu Kaum
Maturidiyah golongan bukhara, karena juga mempertahankan kekuasaan mutlak
Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifa-sifat. Persoalan banyak yang
kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal
melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan
bersama-sama sifat-Nya kekal.
Sedangkan kaum Maturidiyah golongan
Samarkand dalam hal ini kelihatanya tidak sepaham dengan Mu’tazilah karena
al- Matuiridi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari
Tuhan.[5]
Aliran Maturidiyah
mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara
sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al
seperti menciptakan, menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut
golongan Maturidiyah tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan.
Akan tetapi di kemudian hari, aliran ini membelok ke Asy’ariyah dengan
mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan perkataan “tidak berbeda dari zat”
ialah bahwa sifat-sifat itu tetap ada pada zat dan tidak bisa lepas dari
padanya. Tetapi dari pandangannya ini sebenarnya masih menyisakan persoalan,
yaitu jika sifat-sifat itu bukan hakikat zat, tidak pula berbeda dengan zat, lalu
apa sebenarnya sifat-sifat itu? Menanggapi pertanyaan ini golongan maturidiyah
menjawab bahwa “sifat-sifat itu sifat Tuhan, tidak lebih dari itu”.
Melihat jawaban
yang demikian sebenarnya Maturidiyah belum bisa menyelesaikan kontradiksi yang
sedang berlangsung. Mereka justru membelok kepada golongan para filosof dan
Muktazilah, dengan mengatakan bahwa tidak dapat dipersamakan antara Tuhan
dengan manusia dan sifat Tuhan adalah hakikat zat-Nya. Selain itu mereka juga
bisa membelok ke aliran salaf dengan pengakuan bahwa madzhab itu lebih selamat,
dikarenakan pembahasan sifat Tuhan akan menyeret kita kepada bid’ah, seperti
yang dilakukan oleh kalangan Muktazilah dan Asy’ariyah. Kendati demikian, sikap
Maturidiyah terhadap Muktazilah lebih lunak. Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan,
baginya tidak berarti tasybih (menyerupakan) antara Tuhan dengan manusia, dan
mereka (Muktazilah) yang mengingkari sifat-sifat dengan alasan karena
mensucikan Tuhan tidak perlu disebut dan dituduh Muktazilah, dan tidak pula
kafir, meskipun pengingkaran sifat lebih berbahaya dari pada menetapkannya,
sebab bisa menjadikan Tuhan sebagai suatu gambaran fikiran yang kosong.
Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan menurut
Maturidy, harus menggunakan cara tasybih dan tanzil bersama-sama. Sifat-sifat
Tuhan itu qadim dan tidak bisa diterangkan kecuali menggunakan kata-kata yang
biasa dipakai untuk lingkungan manusia, yang berarti mempersamakn (tasybih).
Akan tetapi dalam pada itu harus dipakai jalan tanzil untuk
meniadakan setiap persamaan antara sifat Tuhan
dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu ditanyakan, bagaimana sifat ilmu
dan qodrat Tuhan itu, sebab pertanyaan ini masih memaksakan adanya persamaan.
Prinsip inilah yang menjadi pegangan Ibn Rusyd.[6]
d) Syiah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syiah Rafidhah menolak
bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, mereka menilai bahwa pengetahuan itu
bersifat baru, tidak qadim, sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa Allah
tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya.
Makna Allah berkehendak menurut mereka
adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan, ketika gerakan itu muncul, ia bersifat
tahu terhadap sesuatu itu, mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat
tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.
Mayoritas tokoh Rafidhah menyifati tuhannya
dengan bada (perubahan) mereka beranggapan bahwa tuhan mengalami banyak
perubahan, sebagian mereka mengatakan
bahwa Allah terkadang memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang pula ia
menghendaki melakukan sesuatu lalu mengurungkannya karena ada perubahan pada
diri-Nya, perubahan itu bukan arti nask tetapi dalam arti bahwa pada waktu yang
pertama ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang kedua.[7]
e)
Musyabihah
(Karramiyah)
Kaum Musyabbihah artinya kaum yang
menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena
mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa tuhan
adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.
Kalau sekiranya kaum muslimin memegangi teguh
prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan dengan makhluknya, tentulah
tidak timbul persoalan sifat dan tidak
timbul segolongan muslimin yang memegangi lahir nash-nash ayat atau hadist
mutasyabihat, seperti golongan musyabbihah atau Karramiyah. Dengan demikian
mereka mirip golongan agama-agama lain yang mempercayai Tuhan bertubuh dan
nampak dalam bentuk manusia.
Aliran
kepercayaan ini sering disebut dengan aliran antropomorfisme, yakni kepercayaan
bahwa Tuhan bisa mewujud sebagaimana manusia. Aliran ini, dalam merumuskan
pemahamannya hanya menafsirkan ayat-ayat mengenai Zat, Sifat-Sifat Allah dan
perbuatan-Nya hanya berdasarkan makna harfiyahnya saja, sehingga pemahamannya
mempercayai bahwa Allah memiliki jisim, sebagaimana yang pernah diulas pada
pembahasan di atas. Tetapi aliran musyabihah yang memegangi lahiriyah ayat-ayat
tersebut merupakan golongan kecil dalam Islam. Hal ini karena memang pada
awalnya kaum muslimin memiliki pemahaman teologi yang antropomorfis.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menurut
lahirnya berisi persamaan Tuhan dengan makhluk yang menjadi dasar kepercayaan
golongan tersebut, seperti ayat-ayat
yang mengatakan bahwa Tuhan
berada dalam suatu arah tertentu, yaitu di atas, di langit, di Arsy, bahkan berpindah-pindah. Ayat-ayat
tersebut adalah :
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ
بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Artinya “Apakah kamu merasa
aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir
balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang (Q.S
Al-Mulk:16)
وَهُوَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ
يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
Artinya “Dan dialah Allah (yang disembah),
baik di langit maupun di bumi; dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan danapa
yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.”( Q.S
Al-An’am:3)
وَعُرِضُوا
عَلَى رَبِّكَ صَفّاً لَّقَدْ جِئْتُمُونَا كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ
بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّن
نَّجْعَلَ لَكُم مَّوْعِداً
Artinya “Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu
dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami, sebagaimana kami menciptakan
kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali
tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.”(Q.S
Al-Kahfi:48)
Demikian pula hadist Nabi yang diriwayatkan Abu
Hurairah, berbunyi sebagai berikut :“Tuhan kita kita turun kelangit dunia
setiap malam, pada waktu sepertiga malam terakhir. Ia berfirman, siapa yang
berdoa padaKU akan saya kabulkan. Siapa
yang minta ampun, saya ampuni.”
Selain Q.S Al- Baqarah, semua ayat-ayat
tersebut adalah Makkiah. Tujuan utama surat-surat tersebut ialah menetapkan
asaa-asas kepercayaan agama baru, yaitu
Islam, sesudah menunjukkan salahnya kepercayaan-kepercayaan orang
musyrik.
Bagaimanapun
juga golongan Musyabbihah yang memegangi lahirnya ayat-ayat merupakan
segolongan kecil. Leon Ghautier mengatakan bahwa semua kaum muslimin pada
permulaan Islam berpaham anthropomorphist. Pendapat tersebut tidak benar, sebab
sebagian besar dari mereka terkenal dengan sebutan nama Salaf dan orang-orang
sesudah mereka tetap memegangi prinsip tidak
adanya persamaan antara Tuhan dengan makhluk.[8]
D.
KESIMPULAN
Dari pemaparan kami diatas kami dapat menyimpulkan bahwasanya pendapat
aliran-aliran kalam mengenai sifat-sifat tuhan setiap aliran mempunyai pendapat
masing-masing diantaranya:
Mu’tazilah mereka menganggap
bahwa
Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat golongan lain.
Apa yang dipandang sifat
dalam pendapat golongan, bagi
Mu’tazillah tidak lain adalah Zat Allah sendiri.
Kaum Ay’ariyah berlawanan dengan mu’tazilah di atas. Mereka
dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut al-asy’ari sendiri
tidak dapat di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena
perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan Tuhan mengetahui, menghendaki,
berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan,
kemauan, dan daya.
paham Maturidiyah tentang makna sifat tuhan cenderung mendekati paham
mu’tzilah, perbedannya al-maturidi mengakui adanya sifat-sifat tuhan, sedangkan
mu’tazilah menolak adanya sifat tuhan.
rafidhah menyifati tuhannya dengan bada (perubahan) mereka
beranggapan bahwa tuhan mengalami banyak perubahan, sebagian mereka mengatakan bahwa Allah terkadang
memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya.
Musyabbihah artinya
kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah
digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan
makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa tuhan adalah bertangan, bermuka, berkaki,
bertubuh seperti manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Akmal, M. 2000. Tauhid ilmu kalam. Bandung: CV Pustaka Setia
Abbas, Siradjuddin. 2002. I’tiqad Ahlusunnah Wal jama’ah. bandung: PT Pustaka Setia
Anwar, Rosihan dan Rozak, Abul. 2006. Ilmu Kalam Banbung : CV Pustaka
Setia
artikel yang menarik..jangan lupa mampir di blog sya ya...http://armanyuni.blogspot.com/
BalasHapus