A.
Pendahuluan
Perkawinan disyari’atkan supaya manusia
mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia dunia dan
akhirat, dibawah ridha Allah SWT. Di dalam agama Islam dalam hal memilih jodoh
hendaklah mereka memilih karena 4 (empat) perkara yaitu; hartanya,
kecantikannya, keturunannya, agamanya. Namun apabila semuanya tidak dapat
terpenuhi maka pilihlah karena agamanya. Akan tetapi dalam hal ini yang menjadi
permasalahan adalah bolehkah seorang (wanita / pria ) yang beragama Islam
menikah dengan seorang (wanita / pria) yang berbeda agama, walaupun dalam Islam
memberikan peluang kebolehan seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul
kitab. Sedangkan hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 dan 44 jelas
melarang perkawinan orang yang beragama Islam dengan orang yang bukan agama
Islam sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20 ayat
2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya.
Untuk itu, hukum yang baik di samping harus
memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga mempertahankan
dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum yang mengikat.
Tugas manusia sebagai Khalifah adalah menegakkan ajaran agamanya disatu sisi
dan mengatur kehidupan dunia disisi lain yang semuanya adalah untuk kebaikan
manusia itu sendiri, dan pada gilirannya untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan
dan keselamatan di dunia dan akhirat. Perkawinan atau pernikahan adalah sesuatu
yang sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai
ajaran agama. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengamanatkan bahwa pernikahan harus atau wajib dilaksanakan sesuai
ketentuan hukum agama dan kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Maka dari itu disini pemakalah akan
menguraikan sedikit tentang pengertian perkawinan campuran dan akibatnya serta
solusi dalam hal perkawinan campuran tersebut.
B.
PEMBAHASAN
1.
Perkawinan
Campuran dalam peraturan perundang-undangan.
a.
Menurut
Staatblad 1896
Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan
Kolonial Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling
op de gemengde huwelijken", selanjutnya disingkat GHR) memberi definisi
sebagai berikut: Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah
hukum yang berlainan. Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam
lingkup perkawinan campuran yaitu:[1]
1)
Perkawinan
campuran internasional
Perkawinan campuran internasional yaitu:
antara warganegara dan orang asing, antara orang-orang asing dengan hukum
berlainan, dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.
2)
Perkawinan
campuran antar tempat
Perkawinan campuran antar tempat,
misalnya seperti perkawinan antara seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang
pria Jawa dengan wanita Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan
dan sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.
3)
Perkawinan
campuran antar golongan.[2]
Perkawinan campuran antar golongan,
Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian
golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu:
Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, Golongan
Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka
yang berbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan. Misalnya: antara
Eropa dan Indonesia, antara Eropa dan Tionghoa, antara Eropa dan Arab, antara
Eropa dan Timur Asing, antara Indonesia dan Arab, antara Indonesia dan
Tionghoa, antara Indonesia dan Timur Asing, antara Tionghoa dan Arab.
4)
Perkawinan
Campuran Antar Agama
Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama
disebut pula perkawinan campuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem
hukum perkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam hal
perkawinan mengesampingkan hukum dan ketentuan agama. Perkawinan antar agama terdapat
pertentangan dalam praktek dan banyak perkawinan dari masyarakat dan kaum
agamawan namun oleh pemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun
1901 M, dianggap perlu untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2)
yang menetapkan bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai
larangan terhadap suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat 2 pada pasal
7 GHR itu adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di Den
Haaq pada Tahun 1900.[3]
b.
Menurut
Undang-Undang No 1 tahun 1974
1)
Pengertian
Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran ialah perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena
perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (pasal
57).
2)
Ruang Lingkup
Undang-undang nomor 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan, adalah hasil
Badan Legislatif Negara Republik Indonesia dalam menciptakan Hukum Nasional
yang berlakang bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam hal perkawinan
campuran diatur dalam pasal 57 UU Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut:
"Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.[4]
Berdasarkan
pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah:
a)
Perkawinan
antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
b)
Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.
c)
Perkawinan karena salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya
perkawinannya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU
Perkawinan harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam
harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang
beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan ketentuan hukum
agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila hukum agama yang bersangkutan
membolehkan, maka perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang
dilaksanakan oleh pegawai pencatat nikah di KUA Kecamatan, sedangkan perkawinan
campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama
Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil. Dengan demikian
ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah zaman kolonial tentang perkawinan
campuran tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Bagi orang-orang berlainan kewarganegaraan yang
melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara yang
telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang
berlaku. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya
perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun
mengenai hukum perdata. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia
dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini.[5] (
pasal 59 ) Perkawinan campuran yang diatur dalam undang-undang ini adalah
perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan yaitu antara orang Indonesia
dengan orang asing. Hal tersebut penting diatur, mengingat eksistensi bangsa
dan negara Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari konteks pergaulan
tradisional dan atau internasional. Pengaruh dari gejala regionalisasi,
internasionalisasi atau globalisasi di perbagai bidang kehidupan manusia,
mengakibatkan hubungan antar manusia semakin luas dan tidak terbatas, akhirnya
ada yang saling jatuh cinta dan melangsungkan perkawinan antar kewarganegaraan.
Perkawinan Campuran yang berbeda kewarganegaraan ini semakin meningkat
jumlahnya, meskipun di dalam kenyataannya banyak yang menghadapi
problem/permasalahan.
2.
Problematika
dan solusi Perkawinan Campuran
a.
Masalah
Kesahan Perkawinan
Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974
telah ditentukan bahwa sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan
masing-masing agama dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat 1) Oleh karena itu
mengenai perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia harus dilakukan
berdasarkan hukum perkawinan Indonesia jadi kesahan perkawinan tersebut harus
berdasarkan hukum agama dan harus dicatat apabila kedua belah pihak, calon
suami-isteri ini menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah, namun
apabila berbeda agama, maka akan timbul masalah hukum antar agama. Masalahnya
tidak akan menjadi rumit apabila jalan keluarnya dengan kerelaan salah satu
pihak untuk meleburkan diri/mengikuti kepada agama pihak yang lainnya, tetapi kesulitan ini muncul
apabila kedua belah pihak tetap ingin rnempertahankan keyakinannya. Mengenai
kesahan perkawinan campuran ini memang belum ada Pengaturan khusus, sehingga di
dalam prakteknya sering terjadi dan untuk memudahkan pasangan tersebut kawin
berdasarkan agama salah satu pihak, namun kemudian setelah perkawinan disahkan
mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing. Disamping itu terdapat juga
pasangan yang melangsungkan perkawinan diluar negeri, baru kemudian didaftarkan
di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, karena masalah perkawinan campuran ini
tidak mungkin dihilangkan, maka untuk adanya kepastian hukum sebaiknya
dibuatkan suatu pengaturan mengenai kesahan perkawinan campuran ini.[6]
b.
Masalah
Pencatatan
Mengenai perkawinan campuran dalam Undang-undang
No.1 tahun 1974 tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus tentang
pencatatan perkawinan campuran. Dengan demikian apabila perkawinan
dilangsungkan di Indonesia maka berlaku ketentuan pasal 2 ayat (2)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan 9 ketentuan Pasal 2 sampai dengan Pasal 9
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 yang antara lain disebutkan :
1)
Pada Pasal 2
ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)
Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.[7]
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam dilakukan oleh Pegawai
Pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam
berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Dengan tidak
mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan
perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan
perkawinan dilakukan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan
Pasal 9. Demikian dalam hal pencatatan perkawinan apabila pasangan tersebut
beragama Islam, meskipun adanya perbedaan kewarganegaraan tetap dicatatkan di
KUA. Sedangkan apabila pasangan tersebut beragama non muslim meskipun berbeda
kewarganegaraan tetap pencatatannya di Kantor Catatan Sipil. Jadi, yang perlu
dipikirkan pengaturannya adalah pencatatan bagi pasangan yang berbeda agama.
Untuk itu memang diperlukan pemikiran secara mendalam dari berbagai segi agar
tidak merugikan salah satu pasangan.
c.
Masalah Harta
Benda Perkawinan
Apabila pihak suami warga negara
Indonesia, maka ketentuan hukum material berkaitan dengan harta kekayaan diatur
berdasarkan hukum suami, yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1974. Namun harta benda
perkawinan campuran ini apabila tidak dilakukan perjanjian perkawinan yang
menyangkut harta perkawinan maka berkenaan dengan harta perkawinan ini akan
tunduk pada pasal 35, dimana ditentukan, bahwa: Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama, Harta bawaan dari masing-masing suami dan
isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain. Selanjutnya mengenai harta bersama ini dapat dikelola
bersama-sama suami dan isteri, namun dalam setiap perbuatan hukum yang
menyangkut harta bersama harus ada persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat
(1).[8]
Untuk Perkawinan Campuran akan menjadi masalah
Hukum Perdata internasional, karena akan terpaut 2 (dua) sistem hukum
perkawinan yang berbeda, yang dalam penyelesaiannya dapat digunakan ketentuan
Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) yaitu diberlakukan hukum pihak suami. Masalah
harta perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka
tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami yaitu
Undang-undang No.l Tahun 1974. Sedangkan apabila isteri yang berkebangsaan
Indonesia dan suami berkebangsaan asing maka dapat menganut ketentuan Pasal 2
dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak suami. Namun karena
GHR tersebut adalah pengaturan produk zaman Belanda, sebaiknya masalah ini
diatur dalam Hukum Nasional, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
d. Azas-azas Perkawinan.
Hubungan antara laki-laki dan wanita dalam
ikatan tali perkawinan merupakan sunnatullah,
ketetapan Allah yang ditentukan pada alam/ manusia dan makhluk lainnya dan bagi seorang muslim perkawinan
merupakan ibadah. Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhananyang Maha Esa.
Perkawinan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjamin kelangsungan sebuah keluarga. Agar perkawinan
terjamin kelangsungan dan mempunyai
kepastian hukum, maka perkawinan perlu dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.
Masalah
Perceraian.[9]
Di dalam suatu perkawinan diharapkan tidak akan
terjadi perceraian, karena dengan terjadinya perceraian akan menimbulkan
berbagai permasalahan. Namun apabila tetap terjadi perceraian, maka perkawinan
yang dilaksanakan di Indonesia dan pihak suami warga negara Indonesia, jelas
syarat-syarat dan alasan perceraian harus berdasarkan ketentuan yang berlaku di
Indonesia.Yaitu dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah
No.9 Tahun 1975 dan khusus untuk pegawai negeri sipil berlaku pula
ketentuan-ketentuan PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990. Tetapi dalam
hal Perkawinan Campuran yang perkawinannya dilangsungkan di Indonesia sedangkan
pihak suami adalah warga negara asing dan mereka menetap di luar negeri, maka
dalam hal ini akan timbul masalah Hukum Perdata internasional lagi yaitu untuk
menentukan alasan dan syarat perceraian tersebut demikian pula bagi mereka yang
melangsungkan perkawinan di luar negeri.
Selain itu untuk melakukan perceraian harus
cukup alasan bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami isteri. Disini jelas apabila perkawinan campuran dilakukan di Indonesia
jelas alasan maupun akibat terjadinya perceraian berdasarkan ketentuan yang
diatur di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974. Bila perkawinan campuran yang di
langsungkan di Indonesia namun tinggalnya di luar negeri atau perkawinannya
dilangsungkan diluar negeri dalam hal ini belum ada pengaturannya. Oleh karena
itu perlu diatur atau paling tidak adanya perjanjian perkawinan antara
keduanya. apabila kemungkinan putus perkawinan tersebut. Karena apabila sebelum
perkawinan pihak suami dan pihak isteri telah membuat perjanjian dan dilakukan
didepan institusi yang berwenang, yang berisi masalah, kalau terjadi perceraian
dalam hal alasan maupun akibat perceraian yaitu tanggung jawab dan kewajiban
memelihara anak dari hasil perkawinan mereka, maka sudah ada jaminan bagi anak.
C.
Simpulan
Perkawinan
Campuran antara pria WNA dan wanita WNI otomatis kewarganegaraan anak mengikuti
kewarganegaraan ayahnya. Hal ini merupakan konsekuensi hukum pengutamaan
penggunaan asas ius sanguinis, berdasarkan Undang-undang No.62 Tahun 1958
tentang Kewarganegaraan. Sehubungan dangan hal tersebut timbul beberapa
permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jika
terjadi perceraian dari perkawinan antara WNA (laki-laki) dengan WNI (wanita)
maka perceraian tersebut tidak mempengaruhi status si anak. Anak tetap
berstatus WNA hingga usia 18 tahun dan pada saat memasuki usia 18 tahun, anak
berhak menentukan kewarganegaraan sendiri. Namun apabila terjadi perceraian
(berdasarkan Keputusan Hakim) anak diasuh oleh Ibu. Sedangkan ayah tetap
berkewajiban memberikan biaya hidup kepada anak, hanya apabila ayahnya ingkar
atas biaya anaknya, di dalam Undang-undang perkawinan tersebut belum di atur. Belum
adanya pengaturan masalah penentuan status kewarganegaraan anak dari perkawinan
campuran. Belum adanya pengaturan mengenai kesahan dan pencatatan perkawinan campuran
Sering terjadi penyelundupan hukum terhadap kasus anak sah tetapi diluar kawin.
Belum ada pengaturan mengenai kewarisan untuk anak dari perkawinan campuran. Undang-undang
Nomor 62 tahun 1958 belum dapat memecahkan semua permasalahan yang berhubungan
dengan status anak hasil perkawinan antara WNA dan WNI, sebab beberapa
permasalahan yang ada masih diselesaikan melalui pengadilan. Status anak WNI
yang lahir diluar negeri menganut asas ius soli adalah sebagai berikut : Jika
ayahnya tidak jelas maka status anak tetap menjadi WNI. Jika ayahnya jelas maka
status anak adalah bipatrida.
Daftar
pustaka
Dewi
gemala, hukum acara perdata peradilan agama di indonesia, jakarta:
kencana prenada media group, 2005
Nurudin
amiur dan tarigan azhari akmal, hukum perdata islam di indonesia,
jakarta: prenada media, 2004
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Bandung: Inter Masa, 1982
[1] http://problematikaperkawinan-campuran.blogspot.com/2011.
html (08:03)
[2] Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Bandung:Inter Masa,
1982) hal. 31
[4] Dr. H. Amir Nurudin. Drs Azhari A. T, (Bandung: Prenada Media, 2004)
hal. 161
[5] Ibid 165
[6] Gemala dewi, hukum acara perdata peradilan agama di indonesia,(jakarta:prenada
media,2005) hal, 57
[8] ibid 62
[9] Prof. Subekti, Pokok-pokok
Hukum Perdata, (Bandung:Inter Masa, 1982) hal.
97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar