Senin, 17 Juni 2013

HUKUM PERKAWINAN CAMPURAN




A.    Pendahuluan
Perkawinan disyari’atkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia dunia dan akhirat, dibawah ridha Allah SWT. Di dalam agama Islam dalam hal memilih jodoh hendaklah mereka memilih karena 4 (empat) perkara yaitu; hartanya, kecantikannya, keturunannya, agamanya. Namun apabila semuanya tidak dapat terpenuhi maka pilihlah karena agamanya. Akan tetapi dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah bolehkah seorang (wanita / pria ) yang beragama Islam menikah dengan seorang (wanita / pria) yang berbeda agama, walaupun dalam Islam memberikan peluang kebolehan seorang pria muslim menikah dengan wanita ahlul kitab. Sedangkan hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 dan 44 jelas melarang perkawinan orang yang beragama Islam dengan orang yang bukan agama Islam sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Untuk itu, hukum yang baik di samping harus memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga mempertahankan dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum yang mengikat. Tugas manusia sebagai Khalifah adalah menegakkan ajaran agamanya disatu sisi dan mengatur kehidupan dunia disisi lain yang semuanya adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, dan pada gilirannya untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat. Perkawinan atau pernikahan adalah sesuatu yang sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran agama. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengamanatkan bahwa pernikahan harus atau wajib dilaksanakan sesuai ketentuan hukum agama dan kepercayaannya serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka dari itu disini pemakalah akan menguraikan sedikit tentang pengertian perkawinan campuran dan akibatnya serta solusi dalam hal perkawinan campuran tersebut.
B.     PEMBAHASAN
1.         Perkawinan Campuran dalam peraturan perundang-undangan.
a.         Menurut Staatblad 1896
Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de gemengde huwelijken", selanjutnya disingkat GHR) memberi definisi sebagai berikut: Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang berlainan. Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu:[1]
1)   Perkawinan campuran internasional
Perkawinan campuran internasional yaitu: antara warganegara dan orang asing, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.
2)   Perkawinan campuran antar tempat
Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanita Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dan sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.
3)   Perkawinan campuran antar golongan.[2]
Perkawinan campuran antar golongan, Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu:
 Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan. Misalnya: antara Eropa dan Indonesia, antara Eropa dan Tionghoa, antara Eropa dan Arab, antara Eropa dan Timur Asing, antara Indonesia dan Arab, antara Indonesia dan Tionghoa, antara Indonesia dan Timur Asing, antara Tionghoa dan Arab.
4)   Perkawinan Campuran Antar Agama
Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula perkawinan campuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem hukum perkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam hal perkawinan mengesampingkan hukum dan ketentuan agama. Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan banyak perkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun oleh pemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901 M, dianggap perlu untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menetapkan bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai larangan terhadap suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat 2 pada pasal 7 GHR itu adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di Den Haaq pada Tahun 1900.[3]
b.         Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974
1)   Pengertian Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (pasal 57).
2)   Ruang Lingkup Undang-undang nomor 1 tahun 1974
            Tentang Perkawinan, adalah hasil Badan Legislatif Negara Republik Indonesia dalam menciptakan Hukum Nasional yang berlakang bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam hal perkawinan campuran diatur dalam pasal 57 UU Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut: "Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.[4]
Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah:
a)    Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.
b)    Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.
c)     Perkawinan karena salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya perkawinannya sah, maka ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan harus dipenuhi artinya perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila hukum agama yang bersangkutan membolehkan, maka perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama Islam yang dilaksanakan oleh pegawai pencatat nikah di KUA Kecamatan, sedangkan perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil. Dengan demikian ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah zaman kolonial tentang perkawinan campuran tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Bagi orang-orang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-undang perkawinan ini.[5] ( pasal 59 ) Perkawinan campuran yang diatur dalam undang-undang ini adalah perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan yaitu antara orang Indonesia dengan orang asing. Hal tersebut penting diatur, mengingat eksistensi bangsa dan negara Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari konteks pergaulan tradisional dan atau internasional. Pengaruh dari gejala regionalisasi, internasionalisasi atau globalisasi di perbagai bidang kehidupan manusia, mengakibatkan hubungan antar manusia semakin luas dan tidak terbatas, akhirnya ada yang saling jatuh cinta dan melangsungkan perkawinan antar kewarganegaraan. Perkawinan Campuran yang berbeda kewarganegaraan ini semakin meningkat jumlahnya, meskipun di dalam kenyataannya banyak yang menghadapi problem/permasalahan.
2.         Problematika dan solusi Perkawinan Campuran
a.    Masalah Kesahan Perkawinan
Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa sahnya perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan masing-masing agama dan kepercayaannya (Pasal 2 ayat 1) Oleh karena itu mengenai perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia harus dilakukan berdasarkan hukum perkawinan Indonesia jadi kesahan perkawinan tersebut harus berdasarkan hukum agama dan harus dicatat apabila kedua belah pihak, calon suami-isteri ini menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah, namun apabila berbeda agama, maka akan timbul masalah hukum antar agama. Masalahnya tidak akan menjadi rumit apabila jalan keluarnya dengan kerelaan salah satu pihak untuk meleburkan diri/mengikuti kepada agama pihak  yang lainnya, tetapi kesulitan ini muncul apabila kedua belah pihak tetap ingin rnempertahankan keyakinannya. Mengenai kesahan perkawinan campuran ini memang belum ada Pengaturan khusus, sehingga di dalam prakteknya sering terjadi dan untuk memudahkan pasangan tersebut kawin berdasarkan agama salah satu pihak, namun kemudian setelah perkawinan disahkan mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing. Disamping itu terdapat juga pasangan yang melangsungkan perkawinan diluar negeri, baru kemudian didaftarkan di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, karena masalah perkawinan campuran ini tidak mungkin dihilangkan, maka untuk adanya kepastian hukum sebaiknya dibuatkan suatu pengaturan mengenai kesahan perkawinan campuran ini.[6]
b.    Masalah Pencatatan
Mengenai perkawinan campuran dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pencatatan perkawinan campuran. Dengan demikian apabila perkawinan dilangsungkan di Indonesia maka berlaku ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan 9 ketentuan Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang antara lain disebutkan :
1)   Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)    Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.[7] Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9. Demikian dalam hal pencatatan perkawinan apabila pasangan tersebut beragama Islam, meskipun adanya perbedaan kewarganegaraan tetap dicatatkan di KUA. Sedangkan apabila pasangan tersebut beragama non muslim meskipun berbeda kewarganegaraan tetap pencatatannya di Kantor Catatan Sipil. Jadi, yang perlu dipikirkan pengaturannya adalah pencatatan bagi pasangan yang berbeda agama. Untuk itu memang diperlukan pemikiran secara mendalam dari berbagai segi agar tidak merugikan salah satu pasangan.
c.    Masalah Harta Benda Perkawinan
Apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka ketentuan hukum material berkaitan dengan harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami, yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1974. Namun harta benda perkawinan campuran ini apabila tidak dilakukan perjanjian perkawinan yang menyangkut harta perkawinan maka berkenaan dengan harta perkawinan ini akan tunduk pada pasal 35, dimana ditentukan, bahwa: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Selanjutnya mengenai harta bersama ini dapat dikelola bersama-sama suami dan isteri, namun dalam setiap perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama harus ada persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1).[8]
Untuk Perkawinan Campuran akan menjadi masalah Hukum Perdata internasional, karena akan terpaut 2 (dua) sistem hukum perkawinan yang berbeda, yang dalam penyelesaiannya dapat digunakan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) yaitu diberlakukan hukum pihak suami. Masalah harta perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami yaitu Undang-undang No.l Tahun 1974. Sedangkan apabila isteri yang berkebangsaan Indonesia dan suami berkebangsaan asing maka dapat menganut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak suami. Namun karena GHR tersebut adalah pengaturan produk zaman Belanda, sebaiknya masalah ini diatur dalam Hukum Nasional, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
d.   Azas-azas Perkawinan.
Hubungan antara laki-laki dan wanita dalam ikatan tali perkawinan merupakan sunnatullah, ketetapan Allah yang ditentukan pada alam/ manusia dan makhluk lainnya dan bagi seorang muslim perkawinan merupakan ibadah. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhananyang Maha Esa. Perkawinan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menjamin kelangsungan sebuah keluarga. Agar perkawinan terjamin kelangsungan dan mempunyai kepastian hukum, maka perkawinan perlu dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.    Masalah Perceraian.[9]
Di dalam suatu perkawinan diharapkan tidak akan terjadi perceraian, karena dengan terjadinya perceraian akan menimbulkan berbagai permasalahan. Namun apabila tetap terjadi perceraian, maka perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia dan pihak suami warga negara Indonesia, jelas syarat-syarat dan alasan perceraian harus berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia.Yaitu dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dan khusus untuk pegawai negeri sipil berlaku pula ketentuan-ketentuan PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990. Tetapi dalam hal Perkawinan Campuran yang perkawinannya dilangsungkan di Indonesia sedangkan pihak suami adalah warga negara asing dan mereka menetap di luar negeri, maka dalam hal ini akan timbul masalah Hukum Perdata internasional lagi yaitu untuk menentukan alasan dan syarat perceraian tersebut demikian pula bagi mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri.
Selain itu untuk melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Disini jelas apabila perkawinan campuran dilakukan di Indonesia jelas alasan maupun akibat terjadinya perceraian berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974. Bila perkawinan campuran yang di langsungkan di Indonesia namun tinggalnya di luar negeri atau perkawinannya dilangsungkan diluar negeri dalam hal ini belum ada pengaturannya. Oleh karena itu perlu diatur atau paling tidak adanya perjanjian perkawinan antara keduanya. apabila kemungkinan putus perkawinan tersebut. Karena apabila sebelum perkawinan pihak suami dan pihak isteri telah membuat perjanjian dan dilakukan didepan institusi yang berwenang, yang berisi masalah, kalau terjadi perceraian dalam hal alasan maupun akibat perceraian yaitu tanggung jawab dan kewajiban memelihara anak dari hasil perkawinan mereka, maka sudah ada jaminan bagi anak.
C.    Simpulan
Perkawinan Campuran antara pria WNA dan wanita WNI otomatis kewarganegaraan anak mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Hal ini merupakan konsekuensi hukum pengutamaan penggunaan asas ius sanguinis, berdasarkan Undang-undang No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Sehubungan dangan hal tersebut timbul beberapa permasalahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jika terjadi perceraian dari perkawinan antara WNA (laki-laki) dengan WNI (wanita) maka perceraian tersebut tidak mempengaruhi status si anak. Anak tetap berstatus WNA hingga usia 18 tahun dan pada saat memasuki usia 18 tahun, anak berhak menentukan kewarganegaraan sendiri. Namun apabila terjadi perceraian (berdasarkan Keputusan Hakim) anak diasuh oleh Ibu. Sedangkan ayah tetap berkewajiban memberikan biaya hidup kepada anak, hanya apabila ayahnya ingkar atas biaya anaknya, di dalam Undang-undang perkawinan tersebut belum di atur. Belum adanya pengaturan masalah penentuan status kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran. Belum adanya pengaturan mengenai kesahan dan pencatatan perkawinan campuran Sering terjadi penyelundupan hukum terhadap kasus anak sah tetapi diluar kawin. Belum ada pengaturan mengenai kewarisan untuk anak dari perkawinan campuran. Undang-undang Nomor 62 tahun 1958 belum dapat memecahkan semua permasalahan yang berhubungan dengan status anak hasil perkawinan antara WNA dan WNI, sebab beberapa permasalahan yang ada masih diselesaikan melalui pengadilan. Status anak WNI yang lahir diluar negeri menganut asas ius soli adalah sebagai berikut : Jika ayahnya tidak jelas maka status anak tetap menjadi WNI. Jika ayahnya jelas maka status anak adalah bipatrida.




Daftar pustaka
Dewi gemala, hukum acara perdata peradilan agama di indonesia, jakarta: kencana prenada media group, 2005
                                                    
Nurudin amiur dan tarigan azhari akmal, hukum perdata islam di indonesia, jakarta: prenada media, 2004
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Bandung: Inter Masa, 1982

                            


[2] Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Bandung:Inter Masa, 1982) hal. 31

[4] Dr. H. Amir Nurudin. Drs Azhari A. T, (Bandung: Prenada Media, 2004) hal. 161

[5] Ibid 165
[6] Gemala dewi, hukum acara perdata peradilan agama di indonesia,(jakarta:prenada media,2005) hal, 57
                        [7] http://problematikaperkawinan-campuran.blogspot.com/2011             

[8] ibid 62
[9]  Prof. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Bandung:Inter Masa, 1982) hal.
97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar