Rabu, 19 Juni 2013

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN TEOLOGI HARUN NASUTION DAN H.M ROSYIDI



A.    Pendahuluan
Wafatnya Rasulullah SAW di tahun 632 M menyebabkan pergantian dan perebutan kekuasaan terus menerus,sebagai pengganti baginda Rosul SAW. Pergantian tersebut dimulai dari Abu Bakar, Umar Ibn al-Khattab, Usman Ibn ‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, dan Mu’awiyah. Pergantian kedudukan dari khalifah Ali Ibn Abi Thalib ke Mu’awiyah terjadi konon karena adanya kecurangan yang dilakukan Mu’awiyah. Karena adanya kecurangan inilah maka lahir golongan-golongan seperti khawarij, murji’ah, mu’tazilah, qadariyah dan jabariyah, serta ahli sunnah dan jama’ah. Dan dari sinilah lahir firqoh-firqoh yang mempunyai perbedaan disetiap langkah dan pikiran mereka, dan disinalah lahir bebapa paham tentang ketuhanan yang menyebabkan timbulnya permasalahan yang sering disebut oleh dosen-dosen sebagai permasalahan kalam atau teologi, yang kebenaranya dosenpun tidak tau.
Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri semakin serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.
Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang yang berbeda, maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang berbeda tentang permasalahan ilmu kalan ini.
Di dalam makalah sederhana pemakalah akan sedikit mengulas term-term kalam yang mengacu pada pemikiran dua tokoh yaitu: Harun Nasution dan H.M Rasyidi.

B.     Pembahasan
1.    Biografi Harun Nasution
Harun Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di  Pematang Seminar, Sumatera Utara. Ayahnya, Abdul  Jabar  Ahmad, adalah seorang ulama  yang mengetahui kitab - kitab jawi,  Sedangkan ibunya adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan Abdul Jabbar Ahmad.[1]
Beliau menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda yakni Hollandsh-Inlandsche School (HIS), kemudian melanjutkan ke tingkat menengah yang berlandaskan Islam yakni Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). Karena desakan orang tua ia kemudian meninggalkan MIK dan melanjutkan lagi studinya ke Arab Saudi. Di Arab, ia tidak betah dan menuntut orang tuanya agar bisa pindah studi ke Mesir. Di negeri sungai Nil ini Harun Nasution mendalami Islam di Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, namun ia merasa tidak puas dan kemudian pindah ke Universitas Amerika di Kairo. Di Kairo ini, beliau mendapatkan gelar B.A dalam bidang ilmu pendidikan dan ilmu sosial. Pernah menjadi konsulat Indonesia di Kairo, dari Mesir ia ditarik ke Jakarta dan kemudian menjadi sekretaris pada kedutaan besar Indonesia di Brussel.[2]
Situasi politik dalam negeri Indonesia pada tahun 60-an membuatnya mengundurkan diri dari karier diplomatic dan pulang ke Mesir. Di Mesir ia kembali menggeluti dunia ilmu di sebuah sekolah tinggi studi Islam, Harun memilih belajar dilembaga Ad-Dirasat al-islamiyah di bawah bimbingan salah seorang ulama fiqih Mesir terkemuka, Abu Zahrah. Studinya dimesir lagi-lagi tak dapat diteruskan akibat kekurangan biaya, ketika itu ia menerima tawaran dari Prof. Rasjidi  orang yang kemudian menjadi partner polemiknya dibidang pembaharuan dan pemikiran islam untuk menerima beasiswa dari institute of islamic studies Mc Gill, monterial, kanada.Untuk tingkat Magister beliau menulis tentang “pemikiran Negara Islam di Indonesia” dan untuk disertasinya beliau menulis tentang “posisi akal dalam pemikiran teologi Muhammad Abduh”. Setelah meraih doktor, Harun Nasution kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan pemikiran Islam lewat IAIN. Ia sempat menjadi rector IAIN Jakarta selama dua periode di mulai pada tahun 1994.[3] Kemudian ia memelopori pendirian Pascasarjana untuk studi Islam di IAIN.[4] Kemudian dengan berdirinya program pascasarjana, Harun menjabat sebagai direktur program pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai meninggal dunia (1998), di usianya kurang lebih 79 tahun.
            Sepanjang hayatnya, ia dedikasikan dirinya pada dunia ilmu. Gagasan dan pemikirannya terasa mencerahkan kehidupan berbangsa dan beragama. Ia juga dinilai cukup berani dalam hal pemikiran keagamaan. Di bidang akademis, dia terbilang sukses, terutama dalam meletakkan dasar-dasar pemahaman yang baru tentang keislaman di kalangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia.

2.    Pemikiran-pemikiran Harun Nasution
a.    Peranan Akal
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.[5]
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.[6]
b.     Pembaharuan Teologi
Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah. Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.[7]
Pandangan ini, serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahuluannya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Al afghani, Said Amer dan lainnya) yang memandang  perlu untuk kembali kepada teologi islam sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-deteminisme serta penerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan.
Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah merubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak, rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori moderenisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[8]
c.     Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.[9]
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.[10]
Menurut Harun Nasution, ajaran Islam harus dibagi menjadi 2, yaitu:
1)   Ajaran Islam yang bersifat dasar dan absolut
               Ajaran ini hanya sedikit, yakni 4 hal:
a)    Tidak boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada.
b)   Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan wahyu.
c)    Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
d)   Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
Malaikat menjadi perdebatan orang, takdir dan ikhtiar juga menjadi masalah dalam sejarah pemikiran Islam. Jadi, jika ada pemikiran Islam yang menyimpulkan menyimpang dari keempat hal tersebut, maka itu bukan pemikiran Islam lagi.



2)   Ajaran Islam yang bersifat pengembangan.
               Dalam pemikiran teologi Islam modern, seorang muslim dirangsang untuk berpikir rasional, yakni pemikiran Islam yang tidak takut pada falsafat, tidak merendahkan kemampuan akal, tidak sempit dan tidak dogmatis. Meski terkadang terjadi goncangan-goncangan pemikiran ketika mendiskusikan ilmu kalam, falsafat Islam, tasawuf dan pembaruan dalam Islam. Ketika mendiskusikan masalah kaitan perbuatan manusia dengan perbuatan atau penciptaan Tuhan, pada umumnya seorang muslim sudah memiliki pendirian bahwa paham Jabariah dan lawannya, Qadariah, adalah dua paham yang salah, dan meyakini adanya paham ketiga, yaitu paham kasab, yang diyakini benar, yang posisinya berada di tengah Jabariah dan Qadariah.
           
3.    Biografi M. H. Rasyidin
Dalam konteks pertumbuhan akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit mengesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam di Mesir yang melanjutkan ke Paris, kemudian memperoleh pengalaman mengajar di Kanada.
H.M.Rasyidi lahir di kotagede, Yogyakarta, pada 20 Mei 1915 atau 4 Rajab 1333 H. Wafat 30 Januari 2001. Nama kecilnya adalah Saridi namun setelah menjadi murid Ahmad Syurkati, pemimpin Al- iryad, sebelum lulus dari pelajaranya Saridi diberi nama baru oleh Ahmad Syurkati sebagai “Muhamamad Rasjidi”. Namun nama baru tersebut resmi dipakai oleh Saridi pasca menunaikan ibadah haji beberapa tahun kemudian.[11]
Dalam konteks pertumbuhan kajian akademik islam di indonesia, orang akan sulit mengesampingkan kehadiran  H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi islam di Mesir yang melanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman mengajar di Kanada. Lepas dari retorika- retorika anti Baratnya, orang kan luput mendapati bahwa hampir seluruh konstruksi dibangun atas atas dasar unsur- unsur yang ia dapatkan di Barat. Ia adalah intelaektual Indonesia yang paling banyak memperoleh tidak hanya perkenalan, tetapi juga penyerapan ramuan-ramuan intelektual di gudang orientalisme. Dialah yang berpengaruh dalam usaha mengirimkan para lulusan IAIN atau sarjana lainnya ke montreal sehingga banyak orang yang benar-benar  harus berterima kasih kepadanya.[12]
Umumnya, masyarakat Indonesia mengenal sosok Rasyidi sebagai Menteri Agama pertama di Indonesia. Akan tetapi sebelumnya  Rasyidi pernah menjabat sebagai Menteri Negara yang mengurusi permasalahan umat Islam pada kabinet Syahrir I (14 November 1945 – 12 Maret 1946). Ia diangkat menggantika Wahid Hasjim sebagai menteri agama pada kabinet sebelumnya, yaitu Kabinet presidensil I yang berusia cukup singkat (2 September 1945 -14 November 1945 ) di bawah pemarintahan Presiden Soekarno.

4.    Pemikiran-pemikiran M. H. Rasyidin
Pemikiran kalam Rasyidi dapat ditelusuri dari kritika– kritikan yang ditujukan pada Harun Nasution Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut.[13]
a.    Tentang perbedaan ilmu kalam  dan teologi
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan ilmu kalam dengan ilmu teologi yang dikemukakan oleh Harun Nasution menurut Rasyidi ada kesan bahwa ilmu Kalam adalah Teologi Islam dan Teologi adalah ilmu Kalam dalam Kristen. Menurutnya orang Barat memakai istilah Teologi untuk menunjukan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain.
Teologi terdiri dua kata yaitu  (theo) artinya tuhan, dan logos artinya ilmu. Jadi teologi adalah ilmu tentang ketuhanan. Adapun sebab timbulnya Teologi dalam kristen adalah ketuhanan nabi isa, sebagian salah satu tri-tungal atau trinitas. Namun kata Teologi mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang diluar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan ilmu  tauhid dan ilmu kalam. 
b.    Tema–tema ilmu Kalam
Salah satu tema ilmu Kalam Harun Nasution yang dikritik Rasyidi adalah Islam sekarang, khususnya Indonesia. Rasyidi berpendapat bahwa menonjolkan perbedaan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah akan melemahkan iman para mahasiswa.
Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal kecuali islam,tetapi dengan menggambarkan akal dapat mengetahui baik dan buruk, sedangkan wahyu membuat nilai yang dipikirkan manusia bersifat absolut - universal berarti meremehkan ayat Al- Quran Seperti, Wallahu ya’lamu wa antum la ta’lamu ( Dan Allah- lah yang Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”(Q.S. Al – Baqarah (2) :232).
Rasyidi menegaskan pada saat ini, di Barat akal dirasakan tidak lagi mampu mengetahu iman yang baik dan mana yang buruk. Buktinya adalah kemunculan Eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Rasyidi juga mengakui bahwa soal- soal yang yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, memang masih ada yang relevan pada masa sekarang, tetapi ada pula yang tidak  relevan dengan masa sekarang.[14]
c.    Hakikat iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi  terhadap deskripsi iman yang dikemukakan Nurcholis Madjid, yakni “ percaya dan menaruh kepercayaan  pada Tuhan.Dan apresiatif kepada Tuhan merupakan inti dari pengalaman seseorang. Sikap ini disebut Takwa.
Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran Tuhan yang menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan. Menanggapi pernyataan diatas  Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya hamba dengan  Tuhannya, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia dalam hidup bermasarakat.
Bersatunya manusia dengan Tuhanya bukan merupakan aspek yang mudah dicapai oleh karena itu yang lebih penting dari penyatuan adalah kepercayaan, ibadah,dan kemasyarakatan.[15]



















C.    Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan:
1.      Pemikiran-pemikiran Harun Nasution
a.         Peranan Akal
b.        Pembaharuan Teologi
c.         Hubungan akal dan wahyu
          Menurut Harun Nasution, ajaran Islam harus dibagi menjadi 2, yaitu:
1)      Ajaran Islam yang bersifat dasar dan absolut, Ajaran ini hanya sedikit, yakni 4 hal:
a)      Tidak boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada.
b)      Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan wahyu.
c)      Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
d)     Tidak boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
2)      Ajaran Islam yang bersifat pengembangan.
2.      Pemikiran-pemikiran M. H. Rasyidin
            Pemikiran kalam Rasyidi dapat ditelusuri dari kritika– kritikan yang ditujukan pada Harun Nasution Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.       Tentang perbedaan ilmu kalam  dan teologi
b.      Tema–tema ilmu Kalam
c.       Hakikat iman



Daftar pustaka
Husin Agil,  Said dan Husni Rahim.  2002. Teologi Islam Rasional. Jakarta: PNT   Ciputat Pers

Mustopa.  2010. Mazhab- Mazhab Ilmu Kalam.  Cirebon: Nurjati IAIN Publiser

Muzani, Saiful. 2000. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun    Nasution Bandung: Mizan

Nasution, Harun. 1980. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press

Nasution, Harun. 1983. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa          Perbandingan. Jakarta: UI Press

Nasution, Harun. Anwar Rosihan dan Abdul Razak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung:             CV. Pustaka Setia

Nasution, Harun. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam.  Jakarta

Rohison, Anwar.  2010. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka



                [1] Harun Nasution, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam,( jakarta, t.p, t.t ), hlm 26
                [2] Saiful Muzani, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution (Bandung: Mizan, 2000),  hlm. 5-6
                [3] Satu tahun setelah terpilihnya Harun menjadi rektor atau tetaptnya 1995 terbitlah buku fonumental dengan judul, Islam Rasional (1995). Buku ini merekam hampir seluruh pemikiran keislaman Harun Nasution sejak tahun 1970 sampai 1994 (diedit oleh Syaiful Muzani), terutama mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam. Hal itu, menurut Harun, harus diubah dengan pandangan rasional yang sebenarnya telah dikembangkan oleh teologi Mu’tazilah. Karena itu, reaktualisasi dan sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus diambil, sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.
                [4] Ibid..,Saiful Muzani, Islam Rasional..,
                [5] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1983), hlm. 56
    [6] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1980), hlm. 101
                [7] Said Husin Agil dan Husni Rahim, Teologi Islam Rasional,(Jakarta: PNT Ciputat Pers,2002),hlm   49
                [8] Mustopa, Mazhab- Mazhab Ilmu Kalam,(Cirebon: Nurjati IAIN Publiser, 2010), hlm 241
                [9] Harun Nasution dalam Anwar. Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003), hlm. 243.
                [10] Ibid., hlm. 243
[11] Mustopa, Mazhab- Mazhab Ilmu Kalam,(Cirebon: Nurjati IAIN Publiser,2010),hlm 145-147
                [12] Anwar Rohison, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka, 2010), hlm 238
                [13] Mustopa, Mazhab- Mazhab Ilmu Kalam,(Cirebon: Nurjati IAIN Publiser,2010) ,hlm. 150
                [14] Ibid, hlm. 150-151
[15] Ibid, hlm. 150-151