A.
Pendahuluan
Wafatnya Rasulullah SAW di tahun 632 M menyebabkan
pergantian dan perebutan kekuasaan terus menerus,sebagai pengganti baginda
Rosul SAW. Pergantian tersebut dimulai dari Abu Bakar, Umar Ibn al-Khattab,
Usman Ibn ‘Affan, Ali Ibn Abi Thalib, dan Mu’awiyah. Pergantian kedudukan dari
khalifah Ali Ibn Abi Thalib ke Mu’awiyah terjadi konon karena adanya kecurangan
yang dilakukan Mu’awiyah. Karena adanya kecurangan inilah maka lahir
golongan-golongan seperti khawarij, murji’ah, mu’tazilah, qadariyah dan
jabariyah, serta ahli sunnah dan jama’ah. Dan dari sinilah lahir firqoh-firqoh
yang mempunyai perbedaan disetiap langkah dan pikiran mereka, dan disinalah
lahir bebapa paham tentang ketuhanan yang menyebabkan timbulnya permasalahan
yang sering disebut oleh dosen-dosen sebagai permasalahan kalam atau teologi,
yang kebenaranya dosenpun tidak tau.
Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami
perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam
bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga
persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri semakin serius
untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya
pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu
kalam itu sendiri.
Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang yang
berbeda, maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang berbeda tentang
permasalahan ilmu kalan ini.
Di dalam makalah sederhana pemakalah akan sedikit mengulas
term-term kalam yang mengacu pada pemikiran dua tokoh yaitu: Harun Nasution dan
H.M Rasyidi.
B.
Pembahasan
1.
Biografi Harun Nasution
Harun
Nasution lahir Selasa, 23 September 1919 di Pematang Seminar, Sumatera
Utara. Ayahnya, Abdul Jabar Ahmad, adalah seorang ulama yang
mengetahui kitab - kitab jawi, Sedangkan ibunya
adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan Abdul Jabbar
Ahmad.[1]
Beliau menempuh pendidikan dasar di sekolah Belanda yakni
Hollandsh-Inlandsche School (HIS), kemudian melanjutkan ke tingkat menengah
yang berlandaskan Islam yakni Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). Karena
desakan orang tua ia kemudian meninggalkan MIK dan melanjutkan lagi studinya ke
Arab Saudi. Di Arab, ia tidak betah dan menuntut orang tuanya agar bisa pindah
studi ke Mesir. Di negeri sungai Nil ini Harun Nasution mendalami Islam di
Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar, namun ia merasa tidak puas dan
kemudian pindah ke Universitas Amerika di Kairo. Di Kairo ini, beliau
mendapatkan gelar B.A dalam bidang ilmu pendidikan dan ilmu sosial. Pernah
menjadi konsulat Indonesia di Kairo, dari Mesir ia ditarik ke Jakarta dan
kemudian menjadi sekretaris pada kedutaan besar Indonesia di Brussel.[2]
Situasi politik dalam negeri Indonesia pada tahun 60-an membuatnya
mengundurkan diri dari karier diplomatic dan pulang ke Mesir. Di Mesir ia
kembali menggeluti dunia ilmu di sebuah sekolah tinggi studi Islam, Harun memilih belajar dilembaga Ad-Dirasat al-islamiyah di bawah bimbingan salah seorang ulama fiqih Mesir
terkemuka, Abu Zahrah. Studinya dimesir lagi-lagi tak dapat diteruskan
akibat kekurangan biaya, ketika itu ia menerima tawaran dari Prof. Rasjidi orang yang kemudian menjadi partner
polemiknya dibidang pembaharuan dan pemikiran islam untuk menerima beasiswa
dari institute of islamic studies Mc Gill, monterial, kanada.Untuk tingkat Magister beliau menulis tentang “pemikiran
Negara Islam di Indonesia” dan untuk disertasinya beliau menulis tentang “posisi
akal dalam pemikiran teologi Muhammad Abduh”. Setelah meraih doktor, Harun
Nasution kembali ke tanah air dan mencurahkan perhatiannya pada pengembangan
pemikiran Islam lewat IAIN. Ia sempat menjadi rector IAIN Jakarta selama dua
periode di mulai pada tahun 1994.[3]
Kemudian ia memelopori pendirian Pascasarjana untuk studi Islam di IAIN.[4]
Kemudian dengan berdirinya program pascasarjana, Harun menjabat sebagai
direktur program pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sampai meninggal
dunia (1998), di usianya kurang lebih 79 tahun.
Sepanjang hayatnya, ia
dedikasikan dirinya pada dunia ilmu. Gagasan dan pemikirannya terasa
mencerahkan kehidupan berbangsa dan beragama. Ia juga dinilai cukup berani dalam hal
pemikiran keagamaan. Di bidang akademis, dia terbilang sukses, terutama dalam
meletakkan dasar-dasar pemahaman yang baru tentang keislaman di kalangan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia.
2.
Pemikiran-pemikiran Harun Nasution
a.
Peranan Akal
Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih
problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian
disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan
akal dalam system teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya
pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun
Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”. Karena akallah
manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain
disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula
kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal
manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi
kekuatan-kekuatan lain tersebut.[5]
Dalam
sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam
perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam
diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis,
baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat
bahwa Islam adalah agama rasional.[6]
b. Pembaharuan Teologi
Teologi adalah ilmu
yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut
sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi
rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam
menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya,
di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang
iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan
fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy
al dalalah dan zhanniy al-dalalah. Qath’iy al dalalah adalah
kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi.
Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum
jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan
akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini,
keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.[7]
Pandangan
ini, serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahuluannya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, Al afghani, Said Amer dan lainnya) yang memandang perlu untuk kembali
kepada teologi islam sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat
islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-deteminisme serta penerahan
nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan.
Dengan
demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah merubah teologi mereka menuju teologi yang
berwatak, rasional serta mandiri. Tidak heran jika teori moderenisasi ini
selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah islam klasik sendiri yakni teologi
Mu’tazilah.[8]
c. Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan
akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan
pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu
sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua
permasalahan keagamaan.[9]
Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu
kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal
tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai
untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi
interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan
pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam
sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu
dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam
Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.[10]
Menurut
Harun Nasution, ajaran Islam harus dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Ajaran
Islam yang bersifat dasar dan absolut
Ajaran
ini hanya sedikit, yakni 4 hal:
a) Tidak
boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada.
b) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan wahyu.
c) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
d) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
Malaikat
menjadi perdebatan orang, takdir dan ikhtiar juga menjadi masalah dalam sejarah
pemikiran Islam. Jadi, jika ada pemikiran Islam yang menyimpulkan menyimpang
dari keempat hal tersebut, maka itu bukan pemikiran Islam lagi.
2) Ajaran
Islam yang bersifat pengembangan.
Dalam
pemikiran teologi Islam modern, seorang muslim dirangsang untuk berpikir
rasional, yakni pemikiran Islam yang tidak takut pada falsafat, tidak
merendahkan kemampuan akal, tidak sempit dan tidak dogmatis. Meski terkadang
terjadi goncangan-goncangan pemikiran ketika mendiskusikan ilmu kalam, falsafat
Islam, tasawuf dan pembaruan dalam Islam. Ketika mendiskusikan masalah kaitan
perbuatan manusia dengan perbuatan atau penciptaan Tuhan, pada umumnya seorang
muslim sudah memiliki pendirian bahwa paham Jabariah dan lawannya, Qadariah,
adalah dua paham yang salah, dan meyakini adanya paham ketiga, yaitu paham kasab,
yang diyakini benar, yang posisinya berada di tengah Jabariah dan Qadariah.
3.
Biografi M.
H. Rasyidin
Dalam
konteks pertumbuhan akademik Islam di Indonesia, orang akan sulit
mengesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi Islam
di Mesir yang melanjutkan ke Paris, kemudian memperoleh pengalaman mengajar di
Kanada.
H.M.Rasyidi
lahir di kotagede, Yogyakarta, pada 20 Mei 1915 atau 4 Rajab 1333 H. Wafat 30
Januari 2001. Nama kecilnya adalah Saridi namun setelah menjadi murid Ahmad
Syurkati, pemimpin Al- iryad, sebelum lulus dari pelajaranya Saridi diberi nama
baru oleh Ahmad Syurkati sebagai “Muhamamad Rasjidi”. Namun nama baru tersebut
resmi dipakai oleh Saridi pasca menunaikan ibadah haji beberapa tahun kemudian.[11]
Dalam
konteks pertumbuhan kajian akademik islam di indonesia, orang akan sulit
mengesampingkan kehadiran H.M. Rasyidi, lulusan lembaga pendidikan tinggi
islam di Mesir yang melanjutkan ke Paris, dan kemudian memperoleh pengalaman
mengajar di Kanada. Lepas dari retorika- retorika anti Baratnya, orang kan
luput mendapati bahwa hampir seluruh konstruksi dibangun atas atas dasar unsur-
unsur yang ia dapatkan di Barat. Ia adalah intelaektual Indonesia yang paling
banyak memperoleh tidak hanya perkenalan, tetapi juga penyerapan ramuan-ramuan
intelektual di gudang orientalisme. Dialah yang berpengaruh dalam usaha
mengirimkan para lulusan IAIN atau sarjana lainnya ke montreal sehingga banyak
orang yang benar-benar harus berterima kasih kepadanya.[12]
Umumnya,
masyarakat Indonesia mengenal sosok Rasyidi sebagai Menteri Agama pertama di
Indonesia. Akan tetapi sebelumnya Rasyidi pernah menjabat sebagai Menteri
Negara yang mengurusi permasalahan umat Islam pada kabinet Syahrir I (14
November 1945 – 12 Maret 1946). Ia diangkat menggantika Wahid Hasjim sebagai
menteri agama pada kabinet sebelumnya, yaitu Kabinet presidensil I yang berusia
cukup singkat (2 September 1945 -14 November 1945 ) di
bawah pemarintahan Presiden Soekarno.
4.
Pemikiran-pemikiran M.
H. Rasyidin
Pemikiran
kalam Rasyidi dapat ditelusuri dari kritika– kritikan yang ditujukan pada Harun
Nasution Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai
berikut.[13]
a. Tentang
perbedaan ilmu kalam dan teologi
Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan
ilmu kalam dengan ilmu teologi yang dikemukakan oleh Harun Nasution menurut
Rasyidi ada kesan bahwa ilmu Kalam adalah Teologi Islam dan Teologi adalah ilmu
Kalam dalam Kristen. Menurutnya orang Barat memakai istilah Teologi untuk
menunjukan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain.
Teologi terdiri dua kata yaitu (theo) artinya tuhan,
dan logos artinya ilmu. Jadi teologi adalah ilmu tentang ketuhanan. Adapun
sebab timbulnya Teologi dalam kristen adalah ketuhanan nabi isa, sebagian salah
satu tri-tungal atau trinitas. Namun kata Teologi mengandung beberapa aspek
agama Kristen, yang diluar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam
Kristen tidak sama dengan ilmu tauhid dan ilmu kalam.
b. Tema–tema
ilmu Kalam
Salah satu tema ilmu Kalam Harun Nasution yang dikritik
Rasyidi adalah Islam sekarang, khususnya Indonesia. Rasyidi berpendapat bahwa
menonjolkan perbedaan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah akan melemahkan iman
para mahasiswa.
Memang tidak ada agama yang mengagungkan akal kecuali
islam,tetapi dengan menggambarkan akal dapat mengetahui baik dan buruk,
sedangkan wahyu membuat nilai yang dipikirkan manusia bersifat absolut -
universal berarti meremehkan ayat Al- Quran Seperti, Wallahu ya’lamu wa
antum la ta’lamu ( Dan Allah- lah yang Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak
mengetahui.”(Q.S. Al – Baqarah (2) :232).
Rasyidi menegaskan pada saat ini, di Barat akal dirasakan
tidak lagi mampu mengetahu iman
yang baik dan mana yang buruk. Buktinya adalah kemunculan Eksistensialisme
sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme. Rasyidi juga mengakui bahwa
soal- soal yang yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu,
memang masih ada yang relevan pada masa sekarang, tetapi ada pula yang
tidak relevan dengan masa sekarang.[14]
c. Hakikat
iman
Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap
deskripsi iman yang dikemukakan Nurcholis Madjid, yakni “ percaya dan menaruh
kepercayaan pada Tuhan.Dan apresiatif kepada Tuhan merupakan inti dari
pengalaman seseorang. Sikap ini disebut Takwa.
Apresiasi ketuhanan menumbuhkan kesadaran Tuhan yang
menyeluruh, sehingga menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.
Menanggapi pernyataan diatas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar
menuju bersatunya hamba dengan Tuhannya, tetapi dapat dilihat dalam
dimensi konsekuensial atau hubungan manusia dengan manusia dalam hidup
bermasarakat.
Bersatunya
manusia dengan Tuhanya bukan merupakan aspek yang mudah dicapai oleh karena itu
yang lebih penting dari penyatuan adalah kepercayaan, ibadah,dan
kemasyarakatan.[15]
C.
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan:
1. Pemikiran-pemikiran
Harun Nasution
a.
Peranan Akal
b.
Pembaharuan Teologi
c.
Hubungan akal dan wahyu
Menurut Harun Nasution, ajaran Islam harus dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Ajaran Islam
yang bersifat dasar dan absolut, Ajaran ini hanya sedikit, yakni 4 hal:
a) Tidak
boleh ada dalam pemikiran Islam bahwa Allah tidak ada.
b) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Al-Qur’an bukan wahyu.
c) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa Muhammad bukan rasul Allah.
d) Tidak
boleh ada kesimpulan dalam pemikiran Islam bahwa hari akhir tidak ada.
2) Ajaran
Islam yang bersifat pengembangan.
2. Pemikiran-pemikiran
M. H. Rasyidin
Pemikiran kalam Rasyidi dapat ditelusuri
dari kritika– kritikan yang ditujukan pada Harun Nasution Secara garis besar
pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Tentang
perbedaan ilmu kalam dan teologi
b. Tema–tema
ilmu Kalam
c. Hakikat
iman
Daftar pustaka
Husin Agil, Said dan Husni Rahim. 2002. Teologi Islam Rasional. Jakarta: PNT Ciputat Pers
Mustopa. 2010. Mazhab- Mazhab Ilmu Kalam. Cirebon: Nurjati IAIN
Publiser
Muzani, Saiful. 2000. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran
Prof. DR. Harun Nasution Bandung:
Mizan
Nasution, Harun. 1980. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press
Nasution, Harun. 1983. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press
Nasution, Harun. Anwar Rosihan dan Abdul Razak. 2003. Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia
Nasution, Harun. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam. Jakarta
Rohison, Anwar. 2010. Ilmu Kalam. Bandung: CV
Pustaka
[3] Satu tahun
setelah terpilihnya Harun menjadi rektor atau tetaptnya 1995 terbitlah buku
fonumental dengan judul, Islam Rasional (1995). Buku ini merekam hampir
seluruh pemikiran keislaman Harun Nasution sejak tahun 1970 sampai 1994 (diedit
oleh Syaiful Muzani), terutama mengenai tuntutan modernisasi bagi umat Islam.
Hal itu, menurut Harun, harus diubah dengan pandangan rasional yang sebenarnya
telah dikembangkan oleh teologi Mu’tazilah. Karena itu, reaktualisasi dan
sosialisasi teologi Mu’tazilah merupakan langkah strategis yang harus diambil,
sehingga umat Islam secara kultural siap terlibat dalam pembangunan dan
modernisasi dengan tetap berpijak pada tradisi sendiri.
[15] Ibid, hlm.
150-151