A. Pemeliharaan
Al-Qur’an Pada Masa ‘Utsman
Di masa Khalifah Utsman bin Affan, pemerintahan
mereka telah sampai ke Armenia dan Azarbaiyan di sebelah timur dan Tripoli di
sebelah barat. Dengan demikian kelihatanlah bahwa kaum muslimin di waktu itu
telah terpencar-pencar di Mesir, Syirtia, Irak, Persia dan Afrika. Kemanapun
mereka pergi dan mereka tinggal, Al-Qur'an itu tetap menjadi Imam mereka,
diantara mereka banyak yang menghafal Al-Qur'an itu. Pada mereka terdapat
naskah-naskah Al-Qur'an, tetapi naskah-naskah yang mereka punya itu tidak sama
susunan surat-suratnya. Terdapat juga perbedaan tentang bacaan Al-Qur'an
tersebut. Asal mulanya perbedaan tersebut adalah karena Rasulullah sendiripun
memberikan kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di masanya untuk
membaca dan melafazkan Al-Qur'an itu menurut dialek mereka masing-masing.
Kelonggaran ini diberikan oleh Nabi supaya mereka menghafal Al-Qur'an. Tetapi
kemudian terlihat tanda-tanda bahwa perbedaan tentang bacaan tersebut bila
dibiarkan akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan
dalam kalangan kaum Muslimin.
Orang yang pertama memperhatikan hal ini adalah
seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman. Ketika beliau ikut dalam
pertempuran menaklukkan Armenia di Azerbaiyan, dalam perjalanan dia pernah
mendengar pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al-Qur'an, dan
pernah mendengar perkataan seorang Muslim kepada temannya: "Bacaan saya
lebih baik dari bacaanmu".
Keadaan ini mengagetkannya, maka pada waktu dia
telah kembali ke Madinah, segera ditemuinya Utsman bin Affan, dan kepada beliau
diceritakannya apa yang dilihatnya mengenai pertikaian kaum Muslimin tentang
bacaan Al-Qur'an itu seraya berkata: "Susullah umat Islam itu
sebelum mereka berselisih tentang Al-Kitab, sebagai perselisihan Yahudi dan
Nasara(Nasrani)".
Maka Khalifah Utsman bin Affan meminta Hafsah
binti Umar lembaran-lembaran Al-Qur'an yang ditulis di masa Khalifah Abu Bakar
yang di simpan olehnya untuk disalin. Oleh Utsman dibentuklah satu panitia yang
terdiri dari Zaid bin Tszabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin
'Ash dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam.
Tugas panitia ini adalah membukukan Al-Qur'an
dengan menyalin dari lembaran-lembaran tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan
tugas ini, Utsman menasehatkan agar:
- Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur'an.
- Bila ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur'an itu diturunkan menurut dialek mereka.
Maka tugas tersebut dikerjakan oleh para
panitia, dan setelah tugas selesai, maka lembaran-lembaran Al-Qur'an yang
dipinjam dari Hafsah itu dikembalikan kepadanya.
Al-Qur'an yang telah dibukukan itu dinamai
dengan "Al-Mushhaf", dan oleh panitia ditulis lima buah Al Mushhaf,
Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah dan Kufah, agar di
tempat-tempat tersebut disalin pula dari masing-masing Mushhaf itu, dan satu
buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai
dengan "Mushhaf Al Imam".
Setelah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan
semua lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur'an yang ditulis sebelum itu dan
membakarnya. Maka dari Mushhaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum Muslimin
di seluruh pelosok menyalin Al-Qur'an itu.
Dengan demikian, maka pembukuan Al-Qur'an di
masa Utsman memiliki faedah diantaranya:
- Menyatukan kaum Muslimin pada satu macam Mushhaf yang seragam ejaan tulisannya.
- Menyatukan bacaan, walaupun masih ada kelainan bacaan, tapi bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan Mushhaf-mushhaf Utsman. Sedangkan bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushhaf-mushhaf Utsman tidak dibolehkan lagi.
- Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut seperti pada Mushhaf-mushhaf sekarang.
Di samping itu Nabi Muhammad s.a.w. sangat
menganjurkan agar para sahabat menghafal ayat-ayat Al-Qur'an. Karena itu banyak
sahabat-sahabat yang menghafalnya baik satu surat, ataupun seluruhnya. Kemudian
di zaman tabi'ien, tabi'it, tabi'ien dan selanjutnya usaha-usaha menghafal
Al-Qur'an ini dianjurkan dan diberi dorongan oleh para Khalifah sendiri.
Pada zaman sekarang di Mesir, di sekolah-sekolah
Awaliyah diwajibkan untuk menghafal Al-Qur'an bila mereka ingin menamatkan pelajaran
sekolah awaliyah dan hendak meneruskan pelajarannya ke sekolah-sekolah
mualimin, begitu juga di pesantren-pesantren di Indonesia, sehingga Al-Qur'an
dapat dihafal oleh jutaan umat Islam di seluruh dunia. Dengan demikian
terbuiktilah firman Allah:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur'an, dan
sesungguhnya Kami tetap memeliharanya" ( Q.S. (15) Al Hijr Ayat 9 )
B. Rasam
‘Utsmany
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, umat Islam telah tersebar
ke barbagai
Penjuru dunia sehingga pemeluk agama Islam bukan
hanya orang-orang Arab saja. pada saat itu muncul perdebatan tentang bacaan
Al-Qur’an yang masing-masing pihak mempunyai dialek yang berbeda. Sangat
disayangkan masing-masing pihak merasa bahwa bacaan yang digunakannya adalah
terbaik.[1] Kemudian seorang sahabat
bernama Hudzaifah mengajukan usul kepada Khalifah Utsman bin Affan untuk
menulis mushaf yang dapat diterima oleh semua pihak(seluruh umat Islam).
Maka
dibentuklah tim khusus untuk menulis mushaf Al-Qur’an sebagai yang diharapkan.
Tim khusus tersebut diketuai oleh Zaid bin Tsabit dengan para anggota; Abdullah
bin Zubair, Abdurrahman bin Haris bin Hisyam dan Said bin Asy’ats. Mereka
menulis Al-Qur’an dengan berpedoman pada mushaf yang terdapat pada Khafsoh
serta hafalan para sahabat. Penulisan Al-Qur’an ini sering disebut mushaf
Utsmani atau Rasmul Utsmani.[2]
Penulisan
ini diperbanyak menjadi 4 (empat) yang kemudian dikirim ke Kufah, Basrah, Syam
dan ditangan khalifah sendiri. Untuk naskah-naskah yang lainnya ditiadakan
(dengan dibakar) karna dihawatirkan akan timbul perbedaan.[3]
Didalam
bahasa Arab digunakan tiga macam metode penulisan, yakni penulisan mushaf
Utsmani, penulisan Arud (ilmu untuk menimbang syair) dan penulisan biasa yaitu
tata cara menulis yang biasa digunakan dalam tulis-menulis harian.
Para
ulama menjelaskan beberapa kaidah yang berlaku dalam penulisan mushaf Utsmani
yang diringkas menjadi beberapa kaidah, yaitu :
- Al–Hadzf(membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
- Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
- Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
- Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
- Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
- Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).
- Pendapat Para Ulama Tentang Rasmul Qur’an (Rasmul Utsmani)
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasmul
Al-Qur’an ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat
tauqifi.yang mana mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan
bahwa nabi pernah berpesan kepada mu’awiyah,salah seorang seketarisnya,
“Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”,
bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz
“Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz
“Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan
selalu mengingat Engkau. Merekapun mengutip pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak
seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi
atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk
dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka
(para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk
tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak
dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi
kitab-kitab suci lainnya”.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an
bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh
ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang
menulis alqur’an. Tidak yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang
menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al
Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan
wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi).
Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah
penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik
berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani.
Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur
ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm
tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola
penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca.
Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola
tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak
mempengaruhi makna Al Qur’an.
- Kaitan Rusmul Qur’an Dengan Qira’at
Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya
mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan
Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal
ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal
adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris
harakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf
‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang
untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih
terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan Qira’at sangat
erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula
kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam
Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha
menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam
non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan
untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan
ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
E.
Penyempurnaan
Rasmul Qur’an Setelah Masa Khulafaurrasyidin
Setidaknya ada tiga fase penyempurnaan tulisan Alquran.
Penyempurnaan dilakukan karena banyaknya orang non-Arab yang masuk Islam dimana
dialek mereka berbeda dengan dialek Arab yang asli. Maka lahirlah gagasan untuk
mempermudah bacaan Alquran sebagai upaya menghindari terjadinya kecacatan atau
kecederaan dalam bacaan. Tiga fase itu adalah sebagai berikut:
a. Mu’awiyah bin Abu sofyan menugaskan Abul Aswad Ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.
b. Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al-Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya (baa dengan satu titik di bawah, taa dengan dua titik di atas, tsaa dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al-Hajjaj minta bantuan kepada Nashir bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar.
c. Peletakkan baris atau tanda baca (i’rab) seperti: dhammah, fathah, kasrah dan sukun, mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al-Farahidy.
Tidak hanya
sampai di situ upaya penyempurnaan tulisan Alquran, pemberian tanda-tanda ayat,
tanda-tanda waqaf, pangkal surah, nama surah, tempat turunnya, dan bilangan
ayatnya. Upaya ini terjadi pada masa Al-Makmun.
Adapun
fase-fase percetakkan Alquran agar jumlah Alquran yang beredar di tengah
masyarakat setidaknya memadai dan mencukupi kebutuhan kaum muslimin juga
mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Kalau pada mulanya Alquran digandakan
secara manual lalu disebarkan tetapi sangat terbatas, maka proses percetakkan
bertujuan agar jumlah oplahnya banyak.
PENUTUP
Kesimpulan
Sejarah pemeliharaan Al-Qur'an ini merupakan
setitik dari sejarah Islam yang mungkin masih banyak dari Kita tidak
mengetahuinya atau hanya tahu sejarah pembukuan di zaman Khalifah Utsman bin
Affan saja. Dan mudah-mudahan dapat mendongkrak keimanan Kita dan merasa bangga
pada pemimpin-pemimpin Islam pada zaman dahulu yang bukan hanya memikirkan
bagaimana Islam dapat disiarkan ke seluruh dunia, tapi juga memelihara keutuhan
firman Allah dengan tetap memelihara keimanan mereka kepada Allah dan tetap
menjunjung tinggi apa yang diajarkan oleh Rasulullah.
Demikian makalah yang dapat kami buat, sebagai
hamba Allah yang masih awam tentu masih banyak kekurangan-kekurangan dalam
penulisan makalah ini, kami sangat mengharapkan koreksi dari teman-teman
terutama dari Dosen pembimbing mata kuliah Ulumul Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin
As-Suyuthi, Itqan fi Ulumil Qur’an , Juz 5, Darul Ma’arif, Bairut, 1978
Ulumul
Qur’an II, Drs. H. Ahmad Syadali, M. A. – Drs. H. Ahmad Rofi’I, Pustaka Setia.
Bandung, 1997
Dr.
Shubhi Al-Shalih, Mabahis Fi Ulumil Quran, Darul Ilmi, Bairut, 1977
Anwar Rosihon,Ulumul Qur’an untuk IAIN,STAIN,PTAIS. Bandung
: Pustaka Setia. 2008
http://mashurimas.blogspot.com/2010/12/makalah-rasmul-quran.html
[2] Ulumul Qur’an
II, Drs. H. Ahmad Syadali, M. A. – Drs. H. Ahmad Rofi’I hal. 22