Selasa, 23 Juli 2013

Ulumul Qur'an

A.    Pemeliharaan Al-Qur’an Pada Masa ‘Utsman
Di masa Khalifah Utsman bin Affan, pemerintahan mereka telah sampai ke Armenia dan Azarbaiyan di sebelah timur dan Tripoli di sebelah barat. Dengan demikian kelihatanlah bahwa kaum muslimin di waktu itu telah terpencar-pencar di Mesir, Syirtia, Irak, Persia dan Afrika. Kemanapun mereka pergi dan mereka tinggal, Al-Qur'an itu tetap menjadi Imam mereka, diantara mereka banyak yang menghafal Al-Qur'an itu. Pada mereka terdapat naskah-naskah Al-Qur'an, tetapi naskah-naskah yang mereka punya itu tidak sama susunan surat-suratnya. Terdapat juga perbedaan tentang bacaan Al-Qur'an tersebut. Asal mulanya perbedaan tersebut adalah karena Rasulullah sendiripun memberikan kelonggaran kepada kabilah-kabilah Arab yang berada di masanya untuk membaca dan melafazkan Al-Qur'an itu menurut dialek mereka masing-masing. Kelonggaran ini diberikan oleh Nabi supaya mereka menghafal Al-Qur'an. Tetapi kemudian terlihat tanda-tanda bahwa perbedaan tentang bacaan tersebut bila dibiarkan akan mendatangkan perselisihan dan perpecahan yang tidak diinginkan dalam kalangan kaum Muslimin.
Orang yang pertama memperhatikan hal ini adalah seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman. Ketika beliau ikut dalam pertempuran menaklukkan Armenia di Azerbaiyan, dalam perjalanan dia pernah mendengar pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan beberapa ayat Al-Qur'an, dan pernah mendengar perkataan seorang Muslim kepada temannya: "Bacaan saya lebih baik dari bacaanmu".
Keadaan ini mengagetkannya, maka pada waktu dia telah kembali ke Madinah, segera ditemuinya Utsman bin Affan, dan kepada beliau diceritakannya apa yang dilihatnya mengenai pertikaian kaum Muslimin tentang bacaan Al-Qur'an itu seraya berkata: "Susullah umat Islam itu sebelum mereka berselisih tentang Al-Kitab, sebagai perselisihan Yahudi dan Nasara(Nasrani)".
Maka Khalifah Utsman bin Affan meminta Hafsah binti Umar lembaran-lembaran Al-Qur'an yang ditulis di masa Khalifah Abu Bakar yang di simpan olehnya untuk disalin. Oleh Utsman dibentuklah satu panitia yang terdiri dari Zaid bin Tszabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur Rahman bin Harits bin Hisyam.
Tugas panitia ini adalah membukukan Al-Qur'an dengan menyalin dari lembaran-lembaran tersebut menjadi buku. Dalam pelaksanaan tugas ini, Utsman menasehatkan agar:
  • Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur'an.
  • Bila ada pertikaian antara mereka tentang bahasa (bacaan), maka haruslah dituliskan menurut dialek suku Quraisy, sebab Al-Qur'an itu diturunkan menurut dialek mereka.
Maka tugas tersebut dikerjakan oleh para panitia, dan setelah tugas selesai, maka lembaran-lembaran Al-Qur'an yang dipinjam dari Hafsah itu dikembalikan kepadanya.
Al-Qur'an yang telah dibukukan itu dinamai dengan "Al-Mushhaf", dan oleh panitia ditulis lima buah Al Mushhaf, Empat buah diantaranya dikirim ke Mekah, Syiria, Basrah dan Kufah, agar di tempat-tempat tersebut disalin pula dari masing-masing Mushhaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah, untuk Utsman sendiri, dan itulah yang dinamai dengan "Mushhaf Al Imam".
Setelah itu Utsman memerintahkan mengumpulkan semua lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur'an yang ditulis sebelum itu dan membakarnya. Maka dari Mushhaf yang ditulis di zaman Utsman itulah kaum Muslimin di seluruh pelosok menyalin Al-Qur'an itu.
Dengan demikian, maka pembukuan Al-Qur'an di masa Utsman memiliki faedah diantaranya:
  1. Menyatukan kaum Muslimin pada satu macam Mushhaf yang seragam ejaan tulisannya.
  2. Menyatukan bacaan, walaupun masih ada kelainan bacaan, tapi bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan Mushhaf-mushhaf Utsman. Sedangkan bacaan-bacaan yang tidak sesuai dengan ejaan Mushhaf-mushhaf Utsman tidak dibolehkan lagi.
  3. Menyatukan tertib susunan surat-surat, menurut tertib urut seperti pada Mushhaf-mushhaf sekarang.
Di samping itu Nabi Muhammad s.a.w. sangat menganjurkan agar para sahabat menghafal ayat-ayat Al-Qur'an. Karena itu banyak sahabat-sahabat yang menghafalnya baik satu surat, ataupun seluruhnya. Kemudian di zaman tabi'ien, tabi'it, tabi'ien dan selanjutnya usaha-usaha menghafal Al-Qur'an ini dianjurkan dan diberi dorongan oleh para Khalifah sendiri.
Pada zaman sekarang di Mesir, di sekolah-sekolah Awaliyah diwajibkan untuk menghafal Al-Qur'an bila mereka ingin menamatkan pelajaran sekolah awaliyah dan hendak meneruskan pelajarannya ke sekolah-sekolah mualimin, begitu juga di pesantren-pesantren di Indonesia, sehingga Al-Qur'an dapat dihafal oleh jutaan umat Islam di seluruh dunia. Dengan demikian terbuiktilah firman Allah:
1
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya" ( Q.S. (15) Al Hijr Ayat 9 )
   
B.     Rasam ‘Utsmany
      Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, umat Islam telah tersebar ke barbagai
Penjuru dunia sehingga pemeluk agama Islam bukan hanya orang-orang Arab saja. pada saat itu muncul perdebatan tentang bacaan Al-Qur’an yang masing-masing pihak mempunyai dialek yang berbeda. Sangat disayangkan masing-masing pihak merasa bahwa bacaan yang digunakannya adalah terbaik.[1] Kemudian seorang sahabat bernama Hudzaifah mengajukan usul kepada Khalifah Utsman bin Affan untuk menulis mushaf yang dapat diterima oleh semua pihak(seluruh umat Islam).
                  Maka dibentuklah tim khusus untuk menulis mushaf Al-Qur’an sebagai yang diharapkan. Tim khusus tersebut diketuai oleh Zaid bin Tsabit dengan para anggota; Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Haris bin Hisyam dan Said bin Asy’ats. Mereka menulis Al-Qur’an dengan berpedoman pada mushaf yang terdapat pada Khafsoh serta hafalan para sahabat. Penulisan Al-Qur’an ini sering disebut mushaf Utsmani atau Rasmul Utsmani.[2]
                  Penulisan ini diperbanyak menjadi 4 (empat) yang kemudian dikirim ke Kufah, Basrah, Syam dan ditangan khalifah sendiri. Untuk naskah-naskah yang lainnya ditiadakan (dengan dibakar) karna dihawatirkan akan timbul perbedaan.[3]
                  Didalam bahasa Arab digunakan tiga macam metode penulisan, yakni penulisan mushaf Utsmani, penulisan Arud (ilmu untuk menimbang syair) dan penulisan biasa yaitu tata cara menulis yang biasa digunakan dalam tulis-menulis harian.
                  Para ulama menjelaskan beberapa kaidah yang berlaku dalam penulisan mushaf Utsmani yang diringkas menjadi beberapa kaidah, yaitu :
  1. Al–Hadzf(membuang,menghilangkan,atau meniadakan huruf). Contohnya, menghilangkan huruf alif pada ya’ nida’ (يَََآَ يها النا س ).
  2. Al – Jiyadah (penambahan), seperti menambahkan huruf alif setelah wawu atau yang mempunyai hukum jama’ (بنوا اسرا ئيل ) dan menambah alif setelah hamzah marsumah (hamzah yang terletak di atas lukisan wawu ( تالله تفتؤا).
  3. Al – Hamzah, Salah satu kaidahnya bahwa apabila hamzah ber-harakat sukun, ditulis dengan huruf ber-harakat yang sebelunya, contoh (ائذن ).
  4. Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata (الصلوة).
  5. Washal dan fashl(penyambungan dan pemisahan),seperti kata kul yang diiringi dengan kata ma ditulis dengan disambung ( كلما ).
  6. Kata yang dapat di baca dua bunyi. Suatu kata yang dapat dibaca dua bunyi,penulisanya disesuaikan dengan salah salah satu bunyinya. Di dalam mushaf ustmani,penulisan kata semacam itu ditulis dengan menghilangkan alif, contohnya,(ملك يوم الدين ). Ayat ini boleh dibaca dengan menetapkan alif(yakni dibaca dua alif), boleh juga dengan hanya menurut bunyi harakat(yakni dibaca satu alif).
  1. Pendapat Para Ulama Tentang Rasmul Qur’an (Rasmul Utsmani)
Para ulama telah berbeda pendapat mengenai status rasmul Al-Qur’an ini. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa rasmul qur’an bersifat tauqifi.yang mana mereka merujuk pada sebuah riwayat yang menginformasikan bahwa nabi pernah berpesan kepada mu’awiyah,salah seorang seketarisnya, “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Merekapun mengutip pernyataan Ibnu Mubarak :“Tidak seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”.
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa rasmul qur’an bukan tauqifi,tetapi merupakan kesepakatan cara penulisan yang disetujui oleh ustman dan diterima umat,sehingga wajib diikuti dan di taati siapapun yang menulis alqur’an. Tidak yang boleh menyalahinnya, banyak ulama terkemuka yang menyatakan perlunya konsistensi menggunakan rasmul ustmani.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.
  1. Kaitan Rusmul Qur’an Dengan Qira’at
Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris harakat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa keberadaan mushaf ‘ustmani yang tidak berharakat dan bertitik ternyata masih membuka peluang untuk membacanya dengan berbagai qira’at. Hal itu di buktikan dengan masih terdapatnya keragaman cara membaca Al-Qur’an.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan Qira’at sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
E.     Penyempurnaan Rasmul Qur’an Setelah Masa Khulafaurrasyidin
            Setidaknya ada tiga fase penyempurnaan tulisan Alquran. Penyempurnaan dilakukan karena banyaknya orang non-Arab yang masuk Islam dimana dialek mereka berbeda dengan dialek Arab yang asli. Maka lahirlah gagasan untuk mempermudah bacaan Alquran sebagai upaya menghindari terjadinya kecacatan atau kecederaan dalam bacaan. Tiga fase itu adalah sebagai berikut:

a. Mu’awiyah bin Abu sofyan menugaskan Abul Aswad Ad-Dualy untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.

b. Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al-Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya (baa dengan satu titik di bawah, taa dengan dua titik di atas, tsaa dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al-Hajjaj minta bantuan kepada Nashir bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar.

c. Peletakkan baris atau tanda baca (i’rab) seperti: dhammah, fathah, kasrah dan sukun, mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al-Farahidy.
Tidak hanya sampai di situ upaya penyempurnaan tulisan Alquran, pemberian tanda-tanda ayat, tanda-tanda waqaf, pangkal surah, nama surah, tempat turunnya, dan bilangan ayatnya. Upaya ini terjadi pada masa Al-Makmun.
Adapun fase-fase percetakkan Alquran agar jumlah Alquran yang beredar di tengah masyarakat setidaknya memadai dan mencukupi kebutuhan kaum muslimin juga mengalami perbaikan dan penyempurnaan. Kalau pada mulanya Alquran digandakan secara manual lalu disebarkan tetapi sangat terbatas, maka proses percetakkan bertujuan agar jumlah oplahnya banyak.
PENUTUP
 Kesimpulan
Sejarah pemeliharaan Al-Qur'an ini merupakan setitik dari sejarah Islam yang mungkin masih banyak dari Kita tidak mengetahuinya atau hanya tahu sejarah pembukuan di zaman Khalifah Utsman bin Affan saja. Dan mudah-mudahan dapat mendongkrak keimanan Kita dan merasa bangga pada pemimpin-pemimpin Islam pada zaman dahulu yang bukan hanya memikirkan bagaimana Islam dapat disiarkan ke seluruh dunia, tapi juga memelihara keutuhan firman Allah dengan tetap memelihara keimanan mereka kepada Allah dan tetap menjunjung tinggi apa yang diajarkan oleh Rasulullah.
Demikian makalah yang dapat kami buat, sebagai hamba Allah yang masih awam tentu masih banyak kekurangan-kekurangan dalam penulisan makalah ini, kami sangat mengharapkan koreksi dari teman-teman terutama dari Dosen pembimbing mata kuliah Ulumul Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin As-Suyuthi, Itqan fi Ulumil Qur’an , Juz 5, Darul Ma’arif, Bairut, 1978
Ulumul Qur’an II, Drs. H. Ahmad Syadali, M. A. – Drs. H. Ahmad Rofi’I, Pustaka Setia. Bandung, 1997
Dr. Shubhi Al-Shalih, Mabahis Fi Ulumil Quran, Darul Ilmi, Bairut, 1977
Anwar Rosihon,Ulumul Qur’an untuk IAIN,STAIN,PTAIS. Bandung : Pustaka Setia. 2008
http://mashurimas.blogspot.com/2010/12/makalah-rasmul-quran.html


[1] Jalaludin As-Suyuthi, Itqan fi Ulumil Qur’an , Juz 5, Darul Ma’arif, Bairut, 1978
[2] Ulumul Qur’an II, Drs. H. Ahmad Syadali, M. A. – Drs. H. Ahmad Rofi’I hal. 22
[3] Dr. Shubhi Al-Shalih, Mabahis Fi Ulumil Quran, Darul Ilmi, Bairut, 1977, hal. 83

BANK SYARIAH

BAB I
PENDAHULUAN
Hal paling umum yang manjadi salah satu penggerak ekonomi konvensional adalah riba atau interest. Suku bunga yang menjadi mesin penggerak perekonomian konvensional memang menjadi rancu penggunaanya dalam sistem konvensional sendiri. Menurut Adiwarman Karim, suku bunga sendiri pada awalnya merupakan rate of return bagi kepemilikan modal, atau imbal jasa atas modal yang digunakan dalam proses produksi, bukan merupakan sebuah keuntungan atau uang yang dipinjamkan kepada investor yang menjalankan perekonomian. Namun seiring berjalannya waktu, riba atau interest akhirnya lazim digunakan untuk menggerakan perekonomian, terutama institusi perbankan sebagai sebuah medium of intermesdiary.
Dalam ekonomi islam, riba dapat diartikan sebagai sebuah tambahan atas pinjaman yang diberikan kepada pihak peminjam terhadap pihak yang dipinjamkan tanpa keikhlasan dari pihak yang meminjamkan. Ekonomi Islam kini menganggap bahwa interest rate sebagai perannya dalam menggerakkan perekonomian konvensional sekarang dapat diubah dengan rate on kapital, yaitu pendapatan atas modal barang dan jasa dalam proses produksi. Dengan alasan ini, Adiwarman Karim menjelaskan bahwa perbankan Islam dapat menggerakan perputaran kegiatan atau aktivitasnya dengan ikut masuk ke dalam proses produksi yaitu dengan ikut atau berperan aktif dalam kegiatan usaha. Oleh karena itu, maka dua produk perbankan Islam yang sekarang ada terbentuk dari ide dasar ini. Mudharobah dan musyarokah dapat dikedepankan sebagai dua produk Islam yang muncul dari ide dasar bahwa perbankan Islam haruslah perbankan yang mengambil untung dari ikut berperannya mereka dalam proses produksi dengan mendapat bagian dri bagi hasil pendataan atau dari untung usaha yang didapatkan perusahaan yang menjadi rekan usahanya.
Selain produk Mudharobah dan  Musyarokah, perbankan Islam juga menganut prinsip dual system. Perbankan Islam selain berperan sebagai partner usaha juga dapat berperan sebagai penjual dalam akad Mudharobah, ijarah, atau ishtinah. Dengan peran perbankan Islam sebagai pedagang inilah maka perbankan Islam kini mendapatkan selisih keuntngan yang sudah ditetapkan di awal dengan barang yang disepakati untuk diperjualbelikan. Akad jual beli ini lah yang selama ini menjadi produk yang banyak di gunakan oleh institusi syariah karena perhitungan dan sifat produknya yangg lebih mudah digunakan dalam buisnis syariah. Dengan digunakannya produk             Mudharobah, ijarah, atau istisna ini memang membuat banyak orang awam merasa produk syariah menjadi mirip perbankan dengan perbankan konvensional. Apalagi penempatan margin keuntungan yang jauh beda dengan interest rate. Terlepas dari pembelaan bank syariah terhadap hal ini,  kritik mengenai produk yang berlandaskan akad jual beli ini patut menjadi perhitungan sendiri bagi perbankan syariah.
 
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bank Syariah
            Bank syariah adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya; baik dalam penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah.
            Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan (menerima titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang) adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsi perbankan melakukan hal – hal yang dilarang syariah. Dalam praktik perbankan konvesional yang dikenal saat ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip bunga. Bank konvensional memang tidak serta merta identik dengan riba, namun kebanyakan praktik bank konvnsionaldapat digolonglan sebagai transaksi ribawi.
B. Perbedaan Bank Syariah Dengan Bank Konvensional
No
Perbedaan
Bank Konvensional
Bank Syariah
1
Bunga
Berbasis bunga
Berbasis revenue/profit loss sharing
2
Resiko
Anti risk
Risk sharing
3
Operasional
Beroperasi dengan pendekatan sektor keuangan, tidak langsung terkait dengan sektor riil
Beroperasi dengan pendekatan sektor riil
4
Produk
Produk tunggal (kredit)
Multi produk (jual beli, bagi hasil, jasa)
5
Pendapatan
Pendapatan yang diterima deposan tidak terkait dengan pendapatan yang diperoleh bank dari kredit
Pendapatan yang diterima deposan terkait langsung dengan pendapatan yang diperolah bank dari pembiayaan
6
Mengenal negative spread
Tidak mengenal negative spread
7
Dasar Hukum
Bank Indonesia dan Pemerintah
Al Qur’an. Sunnah, fatwa ulama, Bank Indonesia, dan Pemerintah
8
Falsafah
Berdasarkan atas bunga (riba)
Tidak berdasarkan bunga(riba), spekulasi (maisir), dan ketidakjelasan(gharar)
9
Operasional
-          Dana Masyarakat (Dana Pihak Ketiga/DPK) berupa titipan simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo
-          Penyaluran dan pada sektor yang menguntungkan, aspek halal tidak menjadi pertimbangan agama
-          Dana Masyarakat (Dana Pihak Ketiga/DPK) berupa titipan ( wadi’ah) dan investasi(mudharabah) yang baru akan mendapat hasil jika “diusahakan“ terlebih dahulu
-          Penyaluran dana (financing) pada usaha yang halal dan menguntungkan
10
Aspek sosial
Tidak diketahui secara tegas
Dinyatakan secara eksplisit dan tegas yang tertuang dalam visi dan misi
11
Organisasi
Tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah(DPS)
Harus memiliki Dewan Pengawas Syariah(DPS)
12
Uang
Uang adalah komoditi selain sebagai alat pembayaran
Uang bukan komoditi, tetapi hanyalah alat pembayaran
C. Kritik Terhadat Perbankan Islam
Dari penjelasan mengenai dual system perbankan syariah, maka terdapat dua kritik yang dapat diutarakan. Pertama, perbankan syariah belum bisa di harapkan menjadi media pembangunan bangsa bagi para pengusaha kecil. Mengingatkan terkadang margin yang di berikan perbankan syariah bagi produk jual beli cukup tinggi, karna besaranya yang mirip dengan intrest rate. Hal ini tentunya menjadi constrain bagi pengusaha kecil yang bermodal pas-pasan dengan angunan yang berat ditambah beban margin yang juga cukup besar. Belum lagi keritik yang banyak menganggap bahwa perbankan syariah tidak ubahnya dengan leasing yang menjual motor kredit dengan kredit suku bunga tetap.
Kedua, konsep bagi hasil perbankan syariah yang menurut penulis juga memiliki kelemahan. Bayangkan jika produk yang paling banyak digunakan oleh perbankan syariah adalah bagi hasil maka hanya bank atau UKM-UKM yang sudah masuk ke sektor formallah yang bisa mengakses produk ini mengingat jasa auditor akan sangat krusial dalam menentukan besaran bagi hasil yang akan diterima oleh perbankan syariah.
Ada asimetric information yang akan terjadi jika jasa auditor tidak digunakan dalam perjanjian bagi hasil ini. Bank syariah tidak akan tahu informasi atau revenue yang sesungguhnya diterima oleh pengusaha yang mendapatkan dana dari bank syariah. Dengan banyaknya pengusaha yang terlibat dalam perbankan syariah, tentu hal ini akan membuat semakin besarnya cost yang harus diberikan bagi pihak auditor, hal ini tentu mekanisme yang tedak efisien bagi sistem perbankan syariah.



E. Konsep Perbankan Syariah Negara
Dengan kritik ini maka saya mencoba membangun sebuah sistem perbankan syariah yang saya impikan. Ekonomi Islam menganggap bahwa uang sebagaian medium of intermediary. Uang harus diposisikann hanya sebagai uang, bukan sebagai komoditas yang dapat menghasilkan uang dengan cara batil. Uang dapat mendapatkan manfaat dengan membelanjakaannya lewat barang-barang faktor input yang produktif, baru dapat menghasilkan uang melalui
Profit dari capital yang dibelanjakan. Dengan ini, uang sejatinya memang bersifat media yang meang diciptakan pemerintah untuk mempermudah jalannya perekonomian. Dengan demikian, seharusnya uang tidak bias tersimpan begitu saja, malah harus dikenakan pajak bila hal itu terjadi. Uang harus terus berputar. Menurut Irving Fisher, semakin cepat perputaran uang beredar, tentu semakin baik bagi perekonomian, dengan asumsi jumlah uang beredar tetap. Berawal dari sini, maka perbankan syariah haruslah merupakn sebuah institusi yang menjadi media penyalur bagi orang yang kelebihan uang kepada pengusaha- pengusaha yang memeang membutuhkannya.
Dengan demikan, tidak patut sebuah perbankan menjadikan peminjam uang sebagai mesin untuk menghasilkan uang. Namun bagi perbankan untuk menjalankan aktivitasnya. Hal inilah yang menjadi sulit bagi system perbankan konvesional. Oleh karena itu, keuntungan tanpa harus menjadi lintah darat berdasi. Salah satu cara adalah dengan menjadikan bank yang saya sebut Bank Syariah Negara ini menjadi barang public. Dengan statusnyan sebagai institusi yang mendapatkan gaji dari pemerintah dan gaji dari banker-nya dibiayai lewat APBN, tentu tidak akan menjadikan mereka bersifat seperti yang biasanya lagi.
Namaun, tentu konsep ini berbeda dengan konsep bank yang pernah ada di zaman Soeharto dulu yang hanya memberikan kredit kepada kroni-kroninya saja. Di alam keterbukan seperti sekarang, maka audit bagi perbankan syariah ini akan menjadi tanggung jawab lembaga independen di luar ajring sperti BPK (Lembaga Pengawas Keuangan), KPK (Komisi Pemberantas Korupsi), dan dibawah control langsuung dari Bank Indonesia. Bank tetaplah bersifat bank dan memberikan kredit tanpa bunga khusus bagi UKM- UKM bermodal kecil sehingga BSN(Bank Syariah Negara) bias menjadi agen perubahan bagi perekonomian bangsa. Dengan demikian tentu kredit tanpa bunga ini akan menberikan kemudahan bagi pihak swasta.
Lantas pertanyaannya, apakah BSN akan merugikan bagi Negara mengingat tidak ada imbal jasa bagi Negara karena tida mendapatkan riba? Hal ini tentu saja tidak masalah, justru Negara akan semakon diuntungkan dengan keberadaan bank syariah ini. Pertama BSN akan menjadi salah satu perpanjangan tangan bagi petugas pajak untuk melebrkan sayapnya. Dengan dibangunnya perbankan ini, maka bank akan dapat mendata siapa saja nasabah yang belum mepunyai NPWP ketika individu ini berinteraksi dengan BSN.
Kedua, dengan adanya perbankan ini, maka pemasukan Negara dari pajak akan meningkat. Mengingat UKM yang meminjam akan dibelanjakn uangnya untuk barang modal serta menambah kapasitas produksi. Pajak yang akan diterima Negara dapat meningkat, baik dari pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajak penghasilan (PPh) akibat pertabahan pendapatan yang diterima pengusaha sehinnga kapasitas produksinya semakin meningkat. Dengan pertambahan pendapatan pajak ini tentu akan meningkatkan APBN Negara dan akan menambah kapasitas kemampuan BSN untuk menyalurkan kredit lewat pertumbuhan pendapatan Negara.
Ketiga, perbankan syariah akan menjadi tulang punggung bagi UKM untuk biasa bertransformasi menjadi perusahaan yang memasuki sector formal tanpa beban bunga. Walaupun tanpa bunga, BSN ini tetaplah sebuah bank  yang memberikan kredit sesuai dengan prinsip- prinsip perbankan. Pemilihan perusahaan yang mendaptakan dana tabaru’ ini haruslah UKM- UKM yang potensial dan bisa sebanyak – sebanyaknya menciptakan lapangan pekerjaan yang memang tujuan pemerintah.
Secara simple, system perbankan syariah Negara dapat dijelaskan dengan bagan di bawah ini:
Gambar 2.1 Sistem Perbankan Syariah Indonesia    
 

Dari bagan 2.1 dijelaskan bahwa perbankan syariah ini dapat menjadi alat bagi pemerintah untuk menigkatkan kesejahteraan UKM. Sumber modal dari perbankan  syariah ini ada dua. Pertama, pemerintah dapat menambah modal bank ini dengan memberikan uang yang berasal dari pertumbuhan pendapatan pajak, tetapi bukan merupakan anggaran tetap . semakin tinggi pertumbuhan pajak, maka akan semakin besar uang yang dapat dikapitalisasi untuk merangsang masyarakat dengan memberikan bonus juga melalui pembobotan dari pertumbahan APBN. Semakin besar uang yang akan ditransfer pemerintah bagi masyrakat.
Kunci sukses dari system ini adalah bagaimana pemerintah mau untuk mengeluarkan kepentinganya dari BSN yang terbentuk nantinya. Jajaran direksi maupun manager harus merupakan system management yang bebas dari intervensi pemerintah. Oleh karena itu, pegawai bank ini bukan seperti pegawai negeri kebanyakan. Harus adatarget pencapaian untuk BSN, seperti peningkatan pertumbuhan pajak. Sebagai indicator kesuksesan BSN. Profesioanalisme merupakan syarat mutlak untuk system ini agar dapat terus berlangsung.
Dengan system seperti inilah, maka uang dapat kita tepatkan hanya sebagai uang. Uang hanya merupakn sebuah alat tukar, bukan sebagai komoditas yang diperujual-belikan yang selama ini terjadi di system perbankan konvesional. BSN akan menjamin UKM dapat meminjam tanpa kelebihan sedikit pun dan memang karena itu dibangun. Sifat BSN yang merupakan bank islam tetap harus mengedepankan nilai – nilai islam yang luhur dalam menyalurkan kredit tabaru’-nya kepada masyrakat.


F. Konsep Dasar Transaksi
  1. Efisiensi, mengacu pada prinsip saling menolong untuk berikhtiar, dengan tujuan mencapai laba sebesar mungkin dan biaya yang dikeluarkan selayaknya.
  2. Keadilan, mengacu pada hubungan yang tidak menzalimi (menganiaya) , saling ikhlas mengikhlaskan antar pihak – pihak yang terlibat dengan persetujuan yang adil tentang proporsi bagi hasil, baik untung maupun rugi.
  3. Kebenaran, mengacu pada prinsip saling menawarkan bantuan dan nasehat untuk saling meningkatkan produktivitas.
Lima transaksi yang lazim dipraktekkan perbankan syariah adalah:
  1. Tarnsaksi yang tidak mengandung ribal.
  2. Transaksi yang ditujukan untuk memiliki barang dengan cara jual beli(murabaha)
  3. Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan jaa dengan cara sewa(ijarah)
  4. Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan modal kerja dengan cara bagi hasil (mudharabah)
  5. Transaksi deposito, tabungan, giro yang imbalannya adlah bagi hasil (mudharabah) dan transaksi titipan(wadi’ah).
G. Produk Perbankan Syariah
            Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
Þ    Produk penyaluran dana
Þ    Produk penghimpunan dana
Þ    Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan kepada nasabahnya.
1. Produk penyaluran dana
a. Prinsip Jual Beli (Ba’i)
            Transaksi jual beli dibedakanberdasar4kan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang, seperti:
Ø  Pembiayaan Murabahah
Murabahah adalah transaksi jual beli di mana bank menyebut jumlah
keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad, sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.
Ø  Salam
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara angsuran. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam penbiayaan barang yang belum ada, seperti pembelian komoditi dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ø  Istishna
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan kontruksi. Ketentuan umum Istishna sebagai berikut :
Spesifikasi barang pesanan harus jelas, seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlah. Harga jual yang disepakati dicantumkan dalam akad Istishna dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.
b. Prinsip Sewa (Ijarah)
            Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaanya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
            Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal dengan ijarah muntahiya nittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.
c. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
            Produk pembiayaan syariah yang didasarkan pada prinsip bagi hasil adalah:
Ø  Musyarakah
Musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana secara bersama – sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud. Bentuk kontribusi dari pihaki yang bekerja sama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), keahlian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset( seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang – barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentu kontribusi masing – masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
Ø  Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal mempercayakan seju7mlah modal kepada pengelola dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola. Beberapa ketentuan umum mudharabah adalah;
v  Jumlah modal y6ang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan tunai;
v  Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara: perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek (profit loss sharing).
v  Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad pada setiap bulan atau waktu yang disepakati.
v  Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan, namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah.
d. Akad Pelengkap
            Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembayaran. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta pengganti biaya – biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekadar untuk menutupi biaya yang benar – benar timbul.
Þ    Hiwalah ( Alih Utang Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktik perbankan syariah, fasilitas hiwalah lazimnya untuk melanjutkan suplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapatkan ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.
Þ    Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai berikut :
§  Milik nasabah sendiri,
§  Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,
§  Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
Atas izin bank, nasabah dapat menggnakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
Þ    Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal yaitu:
Ø  Sebagai pinjaman talangan haji, diman nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji.
Ø  Sebagai pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai melalui8 bank (ATM). Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
Ø  Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
Ø  Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengu7rus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara angsur melalui potongan gajinya.
Þ    Wakalah (Perwakilan )
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa pada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C (Letter of Credit), inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukuan L/C, apabila dana nasabah tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyarakah. 
Þ    Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk mrnjamin suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahnb. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
2. Produk Penghimpunan Dana
            Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.
a. Prinsip Wadi’ah
Ketentuan umum dari produk ini adalah :
o   Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imabalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberi bonus kapada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
o   Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
o   Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekadar menutupi biaya yang benar – benar terjadi.
o   Ketentuan – ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b. Prinsip Mudharabah
Þ    Mudharabah Mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharaba dan deposito mudharabah. Berdasarkan prinsip ini, tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
Þ    Mudharabah Muqayyadah on Balance sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) di mana pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, disyaratkan digunakan deangan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
Þ    Mudharabah Muqayyadah off Balance sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, di mana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.
c. Akad Pelengkap
Þ    Wakalah (perwakilan)
Dalam aplikasi perbankan, wakalah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
3. Jasa Perbankan
a. Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
            Pada prinsipnya, jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tudak sejenis ini penyerahannya harus dilaksanakan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b. Ijarah (sewa)
            Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.
E. Keunggulan Bank Syariah
  1. Dengan adanya negosiasi antara pihak nasabah dengan pihak bank, tercapai suatu halyang saling menguntungkan.
  2. Dengan prinsip bagi hasil, jika perusahaan ingin menaikkan usahanya namun kekurangan modal, maka dapat mengajukan kredit dengan baik, sehingga dapat menerima modal dan juga resiko yang ada lebih rendah daripada dengan pinjaman kredit biasanya.
  3. Dapat mendorong para pengusaha kecil untuk mengembangkan usahanya dengan baik, dengan adanya bantuan dari pihak bank.
  4. Resiko kerugian lebih kecil dengan menggunakan prinsip ini. Karena apabila mengalami kerugian, maka dibagi menurut perjanjian yang dibuat.
  5. Pihak bank akan mendapatkan banyak nasabah dengan menggunakan prinsip ini, karena adanya kemudahan – kemudahan (misalnya tanpa agunan) yang diberikan oleh bank dan juga akan menaikkan keuntungan yang besarnya sesuai dengan perjanjian yang dilakukan.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian kita sepakati bersama bahwa perbankan islam adalah lembaga keuangan yang menjalankan aktivitas perbankan konvensional murni yang tidak sama sekali ada kaitannya dengan kegiatan keagamaan yang akan menimbulkan kontradiksi apabila terjadi sebuah kesalahan, maka agama islam termasuk di dalamnya umat islam itu akan tersalahkan.
Namun dalam kegiatannnya perbankan islam tidak boleh menyimpang dari landasan dan prinsip-prinsip islam itu sendiri, karena timbulnya perbankan islam adalah untuk menyempurnakan dari sistem sosialis dan konvensional. Yang bukan saja berorientasi pada profitabilitas tapi juga bagaimana perbankan islam itu sendiri mengedepankan etika dan moral dalam berbisnis di dunia perbankan yang dapat menciptakan sebuah kegiatan perbankan yang efisien dan efektip (bebas dari Riba, Gharar, Maysir, dll) sehingga dapat berimplikasi pada pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat, menciptakan pasar ekonomi yang sehat dan menghilangkan paradigma dzalim.
Maka tugas kita selaku akademisi adalah bagai mana kita mengembangkan dan menerapkan kegiatan perbankan islam pada masyarakat dunia, sehingga tidak ada kata alergi ketika masyarakat mendengar istilah – istilah kegiatan perbankan islam. Harapan kita bahwa sudah cukup sampai disini saja kegiatan dunia bisnis baik yang basis finansial, Investasi, perbankan, real, pasar modal, pasar barang dll. Yang hanya menguntungkan sebagian pihak dan dipihak lain tertidas.
Mari kita jadikan Perbankan islam sebagai sarana untuk menciptakan dunia bisnis baru yang bernafaskan positif yang dapat memberikan kesejahteraan bagi semua.