FIQH SOSIAL
A. Pendahuluan
Fiqih atau Hukum
Islam merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu keislaman yang paling mendominasi
kehidupan umat Islam. Bidang bahasanya begitu luas, meliputi permasalahan hukum
positif ditambah permasalahan yang terkait dengan bidang ibadah. Inilah
kekhasan hukum Islam atau fiqih jika dibandingkan dengan hukum positif. Oleh
karenanya fiqih memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan tradisi
keagamaan. Fiqih seringkali dianggap sebagai warna dasar budaya masyarakat
Muslim, sehingga ketika ingin memahami budaya serta system nilai yang ada pada
masyarakat Muslim, maka mengetahui bagaimana mereka memahami Fiqih yang memang
merupakan sebuah keharusan. Mengingat fiqih memainkan posisi sentral dalam
pembentukaan tradisi keagamaan umat Islam, Fiqih sering kali menjadi sasaran
tembak pertama saat melihat keterbelakangan masyarakat Muslim.[1]
Syari’at Islam
merupakan pengejawantahan dan manifestasi dari aqidah Islamiyah. Aqidah
mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan, termasuk
kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara
terinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari’at Islam
yang dijabarkan secara terinci oleh para ulama’ dalam ajaran fiqh (fiqh
sosial), ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi,
kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.[2]
B. Rumusan Masalah
Fiqih
Sosial merupakan tema yang menarik untuk dikaji, maka dari itu untuk mengetahui
lebih banyak tentang fiqih social perlu kita susun beberapa rumusan masalah,
diantaranya :
1.
Pengertian Fiqih Sosial
2.
Konsep Fiqih Sosial
3.
Istinbath Hukum
4.
Kaidah dan Implementasinya
C. Pembahasan
1. Pengertian Fiqih Sosial
Kepedulian, perhatian, partisipasi aktif Kiai
Sahal dalam lapangan ekonomi kerakyatan tidak lepasdari bakat beliau, yaitu
fiqih. Beliau ingin membuktikan bahwa fiqih tidak hanya berkaitan dengan ibadah
mahdhah (relasi vertical) namun jugamampu mengeluarkan manusia dari jurang
kemiskinan dan keterbelakangan. Pergulatan intensif Kiai Sahal dalam
mengembangkan fiqih normative ini akhirnya menemukan solusi dengan terobosan
yang bernama fiqih social. Yakni fiqih yang berhubungan, berkaitan dengan
problematika social yang meliputi pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup,
ekonomi, keilmuan, budaya dan politik.[3]
2.
Konsep Fiqih Sosial
Fiqih soial mengacu pada lima prinsip pokok,
yaitu :
1.)
Interprestasi teks-teks fiqih
secara kontekstual
2.)
Perubahan pola bermadzhab dari qauly (tekstual) ke manhaji (metodologis)
3.)
Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang
(furu’)
4.)
Fiqih dihadirkan sebagai etika social, bukan hukum positif Negara
5.)
Pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah social
dan budaya
3.
Istinbath Hukum
Istinbath hukum
merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya. Perkataan ini lebih populer
disebut dengan metodologi penggalian hukum. Metodologi, menurut seorang ahli
dapat diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis berbagai metode yang terkait
dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang sebagai suatu sistem
pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam adalah pembahasan
konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut dikaji dan diformulasikan.[4]
a.
Ijtihad
1.)
Definisi Ijtihad
Ijtihad secara bahasa diambil dari kata juhdun, yang artinya sukar/sulit dan
kekuatan.[5]
Ijtihad terjadi ketika kita menemukan hal-hal yang sulit dan membutuhkan
kekuatan besar. Adapun menurut istilah ahli fiqih, ijtihad adalah mencurahkan
kemampuan analisis dalam masalah yang tidak dianggap negative. Adapula yang
berpendapat bahwa ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan dalam memperoleh
hukum syara’ dengan jalan istinbath (menetapkan hukum berdasarkan dalil).
Sebagian ulama mendefinisikan ijtihad dengan
menghabiskan daya dan mencurahkan potensi secara maksimal, adakalanya dalam
menetapkan hukum-hukum syara’, dan adakalanya dalam menerapkanya. Ijtihad dalam
pengertian ini terbagi menjadi dua, salah satunya focus dalam masalah
menetapkan hukum-hukum dan penjelasanya. Kedua, focus dalam penerapanya.
Ijtihad yang pertama adalah ijtihad yang
sempurna. Ijtihad ini khusus bagi sekelompok kecil dari para ulama yang
mencurahkan hidupnya untuk mengetahui hukum-hukum masalah praktis dari dalil
secara terperinci. Sebagian ulama berkata, ijtihad macam ini termasuk ijtihad
khusus, telah terputus dari beberapa masa. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Sedangkan Imam Hambali berpendapat bahwa ijtihad macam ini tidak pernah lepas
dari suatu masa, maka harus ada seorang mujtahid yang sampai pada kedudukan
ini.[6]
Bagian kedua adalah ulama yang menyeleksi
pendapat dan menerapkan alas an hukum (illat)
yang diambil dari
pekerjaan-pekerjaan yang bersifat parsial. Maka, pekerjaan mereka disini adalah
menerapkan apa yang ditetapkan oleh ulama-ulama pendahulu. Dengan penerapan ini
menjadi lebih jelas hukum-hukum masalah yang belum diketahui bagi ulama-ulama
pendahulu, pendapat yang memiliki pangkat ijtihad sebuah pendapat didalamnya,
dan mengamalkan apa yang ditetapkan orang yang ahli menyeleksi. Kedua itulah
yang dinamakan tahqiqul manad (membuktikan
adanya tempat menggantungkan hukum).[7]
Menurut Abu Bakar, Ijtihad bias terjadi karena
beberapa adanya tiga hal, yaitu : pertama, Qiyas Syar’I, yaitu ketika illat (causa) tidak menetapkan hukum
karena bolehnya adanya illat tanpa hukum. Kedua.
sesuatu yang diyakini dalam asumsi orang tanpa illat, seperti ijtihad dalam
menentukan waktu shalat. qiblat dan meluruskan nilai barang. Ketiga, Istidlal (mengkaji dalil untuk menjawab masalah) dengan dasar-dasar
qaidah (ushul). Istidlal menurut Imam
Amudi adalah mencurahkan kemampuan dalam mencari asumsi hukum syara’ (zhannul hukmi al- syar’i) dengan
menelusuri jalan yang jiwa pelakunya sudah merasa tidak mampu menambah lagi hasil
pengetahuanya.[8]
Imam Syafi’I mengidentikkan ijtihad dengan
qiyas. Ungkapan ini dilontarkan tatkala beliau ditanya seseorang tentang
pengertian qiyas dan kaitanya dengan ijtihad. Namun al-Ghazali mengkritisi
pandangan ini. Karena ijtihad mempunyai cakupan yang lebih luas daripada qiyas.
Sebab ijtihad kadang berupa penalaran akan keumuman cakupan makna nash,
interpretasi dari makna-makna tersembunyi, atau metode-metode penggalian hukum
lainya, tanpa keterlibatan penalaran analogis (qiyas).[9]
2.)
Syarat-syarat Ijtihad
Mujtahid yang menetapkan hukum disyari’atkan
beberapa syarat, yaitu :[10]
a.)
Mengetahui bahasa Arab. Ulama Ushul sepakat atas keharusan mengetahui
bahasa Arab, karena al-Qur’an yang turun dengan syari’at ini adalah bahasa
Arab, dan karena sunah yang menjadi penjelasannya datang dengan bahasa Arab.
Imam Ghazali mendefinisikan ukuran yang wajib diketahui dari bahasa Arab,
dengan suatu kemampuan yang bisa memahami dialektika orang Arab dan tradisinya
dalam penggunaan, sehingga ia bisa membedakan antara teks yang jelas
(eksplisit), terang, global, hakikat, majaz, umum, khusus, muhkam, mutasyabih,
muthlaq, muqoyyad, nash dan pemahamanya. Hal ini tidak berhasil kecuali pada
orang yang sampai pangkat ijtihad dalam bahasa. Dari sini dipahami, bahwa
sesungguhnya al-Ghazali mensyaratkan pengetahuan mendalam dalam bahasa sehingga
kedalaman ilmunya sampai pada kedudukaan ijtihad.
b.)
Mengetahui al-Qur’an, hal ini disyaratkan Imam Syafi’I dalam kitab
Risalahnya. Hal tersebut karena al-Qur’an merupakan , sumber syari’at, tiang
syari’at, dan tali pegangan (hablun) Allah
yang diabadikan sampai hari kiamat.Oleh karena itu Ulama berkata, mujtahid
wajib mengetahui sedalam-dalamnya ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, sekitar 500
ayat dari al-Qur’an.
c.)
Mengetahui al-Sunah, merupakan syarat yang disepakati para ulama. Maka
wajib bagi Mujtahid mengetahui sunah tekstual, perilaku, dan ketetapan dalam
setiap tema yang dikajinya menurut ulama yang mengatakan bahwa ijtihad menerima
pembagian. Ia harus mengetahui semua sunnah yang mengandung hukum-hukum taklifi
(pembebanan), memahaminya, menemukan tujuan-tujuanya dan hubunganya, keadaan
yang diucapkan padanya.
d.)
Mengetahui tempat-tempat ijma’ dan tempat-tempat perbedaan.Tempat-tempat
ijma’ yang tidak diragukan keberadaanya adalah dasar-dasar pembagian harta
mayit.Yang dimaksud disini bukan menghafal seluruh tempat ijma’ sehingga ia
mampu menampakannya pada seluruh perilakunya, tetapi setiap persoalan harus
dikaji sehingga ia mengetahui tempat ijma’ didalamnya jika ada ijma’, dan
tempat perbedaan jika ada perbedaan, serta mengetahui tempat-tempat ijma’ yang
disepakati oleh ulama klasik (assalafus
shalih). Ia juga wajib mengetahui perbedaan para ahli fiqih, perbedaan
fiqih Madinah, metodologi fiqih Iraq, mampu menganalisis analisis untuk
menemukan antisipasi dan daya jangkau yang baik, mampu membandingkan antara
yang benar dan yang tidak benar, dan mana yang dekat dari al-Qur’an, al-Sunah
dan yang jauh darinya..
e.)
Mengetahui qiyas, Imam Syafi’I berkata, sesungguhnya ijtihad adalah
mengetahui jalan-jalan qiyas dan metode-metodenya. Ada tiga hal maupun
langkah-langkah yang harus dipenuhi untuk memahami qiyas, yaitu : pertama, mengetahui dasar-dasar teks
yang didasarkan diatasnya dan alasan
hukum (illat) yang menjadi hukum nash ini. Kedua,
mengetahui undang-undang qiyas dan batasan-batasanya. Ketiga, mengetahui metodologi yang dijalankan oleh as Shalafus Shalih dalam mengenal illat
hukum dan sifat yang dianggap dasar dan pokok dalam membangun hukum dan
mengeluarkan sekelompok hukum-hukum fiqih.
f.)
Mengetahui tujuan hukum. Kita mengetahui bahwa tujuan hukum dalam
syari’at Islam adalah kasih sayang pada hamba, ia adalah tujuan yang agung dari
Risalah Muhammad. Seperti firman Allah yang ada dalam al-Qur’an, Surat
al-Anbiya’ : [11]107,
!$tBur
»oYù=yör&
wÎ)
ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9
ÇÊÉÐÈ
Artinya : ‘’dan Tiadalah Kami
mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam’’.
(Q.S. al-Anbiya’ : 107)
Kasih sayang universal tersebut menuntut agar
syari’at Islam konsisten menegakan kemashlahatan dengan tingkatan-tingkatanya
yang berjumlah tiga, yaitu : keharusan, kebutuhan dan kebagusan. Ia juga
menuntut untuk menghilangkan kesukaran dan mencegah kesempitan, memilih yang mudah, tidak sulit,
dan sesungguhnya kepayahan yang dimaksud Syar’I adalah kepayahan yang
memungkinkan seseorang untuk terus menjalaninya. Adapun kepayahan yang tidak
mungkin seseorang terus menjalaninya, syari’at menyuruh untuk menolak bahaya
yang besar, seperti berjuang dijalan Allah untuk menolak kerusakan. Sebagaimana
firman Allah yang berbunyi :
tûïÏ%©!$#
(#qã_Ì÷zé&
`ÏB NÏdÌ»tÏ ÎötóÎ/ @d,ym
HwÎ) cr& (#qä9qà)t $oY/u ª!$# 3 wöqs9ur ßìøùy «!$# }¨$¨Z9$# Nåk|Õ÷èt/ <Ù÷èt7Î/ ôMtBÏdçl°;
ßìÏBºuq|¹ ÓìuÎ/ur ÔNºuqn=|¹ur
ßÉf»|¡tBur
ã2õã
$pkÏù ãNó$#
«!$# #ZÏV2
3 cuÝÇZus9ur ª!$# `tB ÿ¼çnçÝÇYt 3 cÎ) ©!$# :Èqs)s9
îÌtã ÇÍÉÈ
Artinya : ‘’(yaitu) orang-orang yang
telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali
karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya
Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat
orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa’’. (Q.S. al-Hajj : 40)
g.)
Baik pemahaman dan ciptaanya. Ini adalah instrument untuk mengabdi pada
setiap pengetahuan, menghadapkanya, memilih kesalahan pendapat dari yang benar.
h.)
Tujuan dan keyakinan yang benar. Niat yang murni menjadikan hati
bersinar dengan cahaya Allah SWT. Ia bisa berjalan terus mencapai intisari
agama bijak ini dan menghadap pada hakikat agama, ia tidak mencari dan punya
tujuan lain, sesungguhnya Allah menjatuhkan hikmah dihati orang yang ikhlas.
Sesungguhnya ikhlas dalam mencari substansi Islam menjadikan pemiliknya berkata
aku menemukanya, ia tidak fanatic, tidak
memastikan bahwa pendapatnya muthlaq benar, dan pendapat lain muthlak salah.
Adapun menurut Syeikh Yusuf Qardhawi, syarat
ijtihad secara ringkas adalah sebagai berikut :
a.)
Menguasai bahasa Arab
b.)
Menguasai Kitabullah dan hadits
c.)
Mengetahui macam-macam ijma’ yang diyakini
d.)
Mennguasai ushul fiqh
e.)
Menguasai metode qiyas
f.)
Paham dalam mengistinbath hukkum
g.)
Menguasai maksud-maksud syari’at dan kaidah-kaidahnya yang kulli
(menyeluruh)
h.)
Mempunyai kapasitas mengistimbath (hukum).
i.)
Mengenali manusia (masyarakat).
j.)
Adil dan Tsiqoh.
k.)
Hanya mencari kebenaran hakiki, tidak karena takut penguasa atau pihak
lain, tetapi murni untuk mencari kebenaran demi menggapai Ridho Ilahi.[12]
b.
Istihsan
1.)
Arti Istihsan
Secara etimologis istihsan berarti
‘’memperhitungkan sesuatu lebih baik’’,atau ‘’adanya sesuatu yang lebih baik’’
atau ‘’mengikuti sesuatu yang lebih baik’’, atau ‘’mencari yang lebih baik
untuk diikuti’’.[13]
Berdasarkan arti diatas dapat disimpulkan bahwa
adanya seorang mujtahid yang menghadapi dua hal yang keduanya baik, tetapi ada
hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu diantaranya dan menetapkan satu
untuk diambil yang lebih baik kemudian diamalkan.
Adapun pengertian istihsan secara istilahi
diperselisihkan loleh para ulama, diantaranya sebagai berikut :
a.)
Istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jail (nyata) kepada
tuntutan qiyas yang khafiy (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum
istitsnaiy (pengecualian).[14]
b.)
Definisi istihsan menurut Ibnu Subki diantaranya : pertama, beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lain
yang lebih kuat daripadanya (qiyas pertama). Kedua, beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan
karena suatu kemashlahatan.[15]
c.)
Istilah istihsan dikalangan ulama malikiyah diantaranya adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Syatibi (salah satu pakar Malikiyah) :
Istihsan dalam madzhab Maliki adalah menggunakan kemashlahatan yang bersifat
juz’I sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.[16]
d.)
Definisi istihsan menurut pendapat para murid Imam Hanafi adalah sebagai
berikut : pertama, sebagian mereka berpendapat, istihsan adalah dalil yang
tampak jelas bagi seorang mujtahid yang tidak mampu untuk diungkapkanya, karena
tidak ada redaksi yang membantu. Kedua, sebagian mereka mengatakan bahwa
istihsan adalah pindah dari satu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat. Ketiga,
sebagian dari mereka juga mengatakan bahwa istihsan adalah mengkhususkan qiyas
dengan dalil yang lebih kuat. Keempat, Imam Khurkhi berpendapat bahwa istihsan
ialah pindah dalam satu masalah yang biasa diberi status hukum, kepada
kebalikanya karena ada illat (alasan) yang lebih kuat. Kelima, Abu Husain
al-Bisri berpendapat bahwa istihsan ialah meniggalkan metode (wajh) dari
beberapa metode ijtihad yang tidak mencakup kandungan teks, karena ada metode
yang lebih kuat. [17]
Sedangkan klasifikasi istihsan menurut madzhab Maliki, sebagai mana
tertulis dalam buku yang berjudul fiqih sosial karangan Jamal Ma’mur Asmani,
terdapat tiga kesimpulan, yaitu :
a.) istihsan yang disandarkan
dengan ‘Urf.
b.) istihsan yang disandarkan
kepada mashlahah.
c.) istihsan yang disandarkan
pada keadaan untuk menghilangkan kesulitan.[18]
c.
Mashlahah
1.)
Definisi Mashlahah
Mashlahah secara etimologi adalah setiap
sesuatu yang menimbulkan suatu perbuatan, berupa hal-hal baik. Sedangkan
Musthafa Syalbi menyimpulkan dalam dua pengertian. Pertama, pengertian majaz,
mashlahah adalah sesuatu yang menyampaikan pada kemanfaatan. Kedua, secara
hakiki, mashlahah adalah akibat yang timbul dari suatu perbuatan yaitu berupa
kebaikan ataupun kemanfaatan. [19]Sedangkan
Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa mashlalah adalah sesuatu yang bisa
mendatangkan kemanfaatan dan menanggulangi kerusakan.[20]
2.)
Fungsi Mashlahah
a.)
Sebagai tujuan hukum Islam
b.)
Sebagai sumber hukum Islam
d.
Tarjih Konstekstual
Tarjih menurut Ibnu Hajib yaitu menyertakan
argumentasi yang kuat menurut hipotesis (dalil zhanni) dengan sesuatu yang
menguatkannya pada hal yang menentangny. Mayoritas pengikut Imam Hanafi
mendefinisikan tarjih dengan menampakkan tambahan pada salah satu dalil yang sama
pada yang lain dengan dalil yang tidak bisa berdiri sendiri. Sedangkan pengkaji
madzhab Syafi’I mendefinisikan tarjih dengan menguatkan salah satu dalil dzanni
(mendekati yakin) untuk diamalkan.[21]
Dalam hukum Islam tarjih dianggap menarik karna
pendapat dan pemikiran para ulama yang sangat beragam, menjadikan peluang untuk
kita pilih pendapat yang lebih unggul (rajih) demi untuk menggapai
kemashlahatan umat didunia maupun diakhirat.
e.
Menggagas Talfiq Manhaji
Para ulama membahas persoalan talfiq, ada yang
mengatakan bahwa talfiq dilarang muthlak, karena barangsiapa yang sudah
mengikuti madzhab tertentu, maka ia tidak boleh berpaling ke madzhab yang lain.
Kedua, memperbolehkan talfiq asal tidak dalam satu masalah (qadhiyyah). Ketiga,
memperbolehkan secara muthlak.[22]
Dari ketiga pendapat diatas yang paling menarik
adalah pendapat ketiga, karena banyak sandaran ayat dan qaidah prinsip yang
bisa dijadikan pijakan, misalnya ayat al-Qur’an yang artinya : ‘’Allah
menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu’’ (Q.S.
Aal-Baqoroh : 185), dan ‘’Allah tidak menjadikan padamu dalam masalah agama
suatu kesulitan’’ (Q.S. al-Haj : 78). Kemudian hadits Nabi menyatakan ‘’Berilah
kemudahan dan jangan mempersulit’’ (H.R. Ahmad dan Nasai).
Berdasarkan dua sumber hukum primer diatas
dapat disimpulkan bahwa sangat jelas mendorong umat Islam menerapkan prinsip
kemudahan dalam ajaran agama, sehingga talfiq tidak dilarang.
Dalam kitab salaf, talfiq (mencampur beberapa
pendapat) dilarang dalam satu qadhiyyah (satu masalah) dan berorientasi tatabbu
ur rukhas (mencari yang ringan-ringan saja). Misalnya ketika wudhu dan memegang
perempuan mengikuti Imam Hanifah, lalu cantuk (mengeluarkan darah dari badan
dengan alat tertentu) mengikuti Imam Syafi’I, lalu shalat, maka status
shalatnya tidak sah menurut kedua imam.[23]
f.
Revitalisasi Metode Istiqra’ Imam Syafi’i
Devinisi Istiqro’ adalah memberikan justifikasi
hukum secara universal (kulliyah) pada sebuah masalah, setelah melakukan
penelitian mendalam, akurat pada mayoritas masalah tersebut secara
partikularistik (juz’iyyah). Misalnya menghukumi bahwa semua hewan kalau makan
menggerakan gigi gerahamnya yang bawah,hal ini disimpulkan berdasarkan setelah
meneliti banyak hewan yang menggerakan gigi gerahamnya ketika makan.
Aplikasi Istiqro’ Imam Syafi’I dalam masalah
haid, nifas, dan istihadhah yaitu setelah meneliti perempuan-perempuan Arab,
tidak semua perempuan didunia, juga tidak semua perempuan yang hidup pada
masanya, Imam Syafi’I menyimpulkan, bahwa jumlah minimal haid (aqallu haidhi)
sehari semalam (yaumun walailatun) atau 24 jam, jumlah maksimalnya (aktsaruhu)
15 hari, dan kebiasaanya (ghalibuhu) 6 atau 7 hari. Jumlah minimal nifas
(aqallu al nifasi) waktu yang sangat sebentar (lahzatun), maksimalnya
(aktsaruhu) 60 hari dan biasanya (ghalibuhu) 40 hari. Jika ada darah yang
keluar selain ketentuan diatas dinamakan darah istihadhah (darah penyakit) yang
tidak mengganggu keabsahan sholat. [24]Istiqro’
Imam Syafi’I mayoritas membahas tentang problem kemanusiaan, khususnya problem
kewanitaan yang menjadi referensi berharga pada ilmu kedokteran. Adapun metode
yang digunakan oleh Imam Syafi’I adalah sebagai berikut :[25]
1.)
Bertanya secara langsung dari satu wanita ke wanita lain.
2.)
Menganalisa data yang masuk secara cermat dan teliti.
3.)
Penelitian sudah sampai pada tahap konklusi sementara, melakukan
generalisasi dan uji public.
4.)
Mengoreksi kekurangan, kesalahan, kelemahan dan ketidaksempurnaan
berdasarkan respon public yang beragam.
5.)
Setelah dikoreksi berulang-ulang, maka diibuatlah kesimpulan final.
Beberapa syarat yang harus dimiliki oleh para
fuqoho dalam melakukan istiqro’ kontemporer yaitu,
1.)
Pendalaman wawasan kemasyarakatan atau sosiologisnya.
2.)
Pendalaman wawasan medis, biologisnya.
3.)
Pendalaman wawasan kebudayaan.
4.)
Penguasaan metodologi yang ilmiyah, analitis dan professional.
5.)
Pendalaman dan pematangan metode generalisasi, konklusi, uji public,
koreksi, komparasi, eksperimentasi, dan membuat konklusi yang valid,
konfrehensif dan universal.
g.
‘Adah Muhakkamah
Salah satu kaidah sumber hukum Islam yang
aspiratif, akomodatif dan fleksibel adalah ‘adah muhakkamah,[26]
yaitu tradisi yang berkembang dimasyarakat menjadi landasan dan sumber
penetapan hukum. Tradisi sutau masyarakat dapat berkembang, berbeda dan berubah
sesuai dengan tingkat peningkatan ekonomi, social, pendidikan dan politik
warganya. Perubahan semacam ini membuat hukum harus proaktif mengikutinya,
sehingga tidak out of date. Kaidah ini dalam rangka menghantarkan substansi
aplikasi hukum Islam yang harus membawa misi vitalnya, yaitu menciptakan
mashalihul ‘ibad, kemashlahatan hamba Allah. Kemashlahatan adalah sesuatu yang
mendorong kepada kebaikan (positif0 dan menghindari kejelekan (negative). Salah
satu indicator mashlahah bagi manusia adalah tercukupinya kebutuhan primer,
sandang, pangan dan papan. Dalam bahasa agama, indicator keberhasilan mashlahah
adalah apabila mampu memenuhi lima hak dasar manusia, yaitu menjaga kebebasan
beragama (hifzhu al-din), melindungi keselamatan jiwa (hifzhu al-nafs), menjaga
keamanan harta (hifzhu al-mal), menjaga kebebasan berfikir (hifzhu al-aqli),
menjaga kelangsungan keturunan dan prestise (hifzhu al-nasli wa al-irdh). Untuk
menjaga realisasi lima hak dasar ini, Islam mempunyai banyak instrument. Qishas
disyari’atkan untuk menjaga keselamatan jiwa, orang murtad dibunuh untuk
menjaga agama, zina dihukum untuk menjaga nasab, orang yang menuduh zina
dihukum untuk menjaga diri, mencuri dihukum untuk menjaga harta, dan
minum-minuman keras dihukum untuk menjaga akal.[27]
‘Adah adalah sesuatu yang berullang-ulang.
‘Adah sama dengan ‘urf, yaitu sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia dalam
kehidupan sehari-hari, baik ucapan, melakukan perbuatan, atau meninggalkanya.
Sedangkan sebagian ahli fiqh berpendapat bahwa ‘adah lebih umum dari pada ‘urf,
artinya semua ‘urf adalah ‘adah, dan tidak semua ‘adah adalah ‘urf.[28]
Salah satu contoh kaidah ‘adah muhakkamah ini adalah batas minimal-maksimal
haid, minimal usia wanita haid, mengambil buah yang runtuh, menjaga harta yang
dicuri, transaksi jual beli tanpa ijab-qabul (mu’athah), pekerjaan para tukang, waktu menggembala hewan, makan
sogatan tamu tanpa dipersilahkan terlebih dahulu, puasa hari syak (ragu), hari
libur sekolah mulai nisfu sya’ban (15 ruah) sampai ramadhan.[29]
Pembagian ‘adah/ urf dibagi dalam beberapa
aspek. Aspek pertama berupa qauly dan amaly, urf qauly (kebiasaan yang berupa
ucapan), misalnya kebiasaan manusia menggunakan kata ‘waladun’ pada anak
laki-laki, bukan perempuan, walaupun kata waladun secara bahasa bisa digunakan
untuk keduanya (laki-perempuan), misalnya firman Allah :[30]
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9
ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# s
Artinya
: ‘’ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan’’.
‘Urf amaly (kebiasaan berupa pekerjaan),
misalnya kebiasaan manusia kalau membeli tanpa ada transaksi (ijab-qabul), tapi
langsung memberikan uang (dalam khazanah fiqih ini dinamakan ba’I mu’athah).[31]
Kedua, dari aspek keumumanya, ‘urf ‘Am (kebiasaan umum), yaitu kebiasaan
manusia dalam semua Negara disatu waktu, misalnya kebiasaan manusia dalam masalah
mandi, kebersihan, tanpa dibatasi hitungan dalam seminggu. ‘Urf khas (kebiasaan
khusus), yaitu kebiasaan yang ada pada sebagian penduduk Negara, misalnya pada
sebagian daerah ada kebiasaan mempercepat pemberian maskawin dan sebagian
daerah yang lain menundanya. Ketiga berdasarkan aspek sah dan rusaknya, yaitu
‘urf shahih (kebiasaan yang sah), yaitu kebiasaan yang tidak bertentangan
dengan ketentuan nash dari beberapa nash syari’at dan tidak juga bertentangan
dengan satu kaidah dari beberapa kaidah syari’ah, walaupun dalam masalah
tersebut tidak ada nash khusus. Selanjutnya ‘urf fasid (kebiasaan rusak) yaitu
kebiasaan yang bertentangan dengan hukum-hukum syari’at dan kaidah-kaidah yang
tetap, misalnya kebiasaan manusia melakukan banyak kemungkaran, seperti
transaksi riba, minum khamr (minuman keras), judi dan sebagainya.[32]
4.
Kaidah Fiqih Sosial dan Implementasinya
Kaidah yang sangat popular digunakan dalam fiqih sosial adalah sebagai
berikut :[33]
تصرف الاءمام على ا لرعية منو ط با لمصلحة
‘’Kebijakan
pemimpin kepada rakyatnya harus sesuai dengan kemashlahatan/ kesejahteraan
rakyatnya’’. Kaidah ini mengharuskan kepada pemimpin untuk menegakkan keadilan,
memprioritaskan orang/ kelompok yang lebih membutuhkan. Kelompok yang sangat
membutuhkan adalah petani, nelayan, pedagang kaki lima, buruh dsb.
ا لمعتدى افضل من القا صر
‘’Sesuatu
yang multifungsi dan multi effect lebih utama dari sesuatu yang manfaatnya
terbatas’’. Sesuatu tersebut bias dalam bentuk ilmu, harta, jabatan, kekuasaan,
perkataan, kegiatan dan organisasi.
Orang yang mahirdalam bidang ekonomi, sehinggamampu membuat lapangan
pekerjaan bagi pengangguran jauh lebih utama daripada orang yang bias bekerja
hanya untuk dirinya sendiri.
ا
لتاْ سيس اولي من التاْكيد
‘’Merintis itu lebih utama daripada
menguatkan’’
Jiwa dan mental kepeloporan adalah salah satu
kemampuan yang langka. Kaidah ini
mengharuskan umat islam menjadi umat terdepan dalam apapun, misalnya mendirikan
perpustakaan desa, membuat kelompok petani yang solid. Hal ini lebih baik dari
menguatkan sesuatu yang sudah ada, manfaatnya lebih besar merintis sesuatu yang
bermanfaat bagi orang banyak.
اعمال الكلام اولي من اهماله
‘’Memfungsikan perkataan
lebih utama daripada membiarkanya’’. Ucapan untuk mengajar, diskusi, melatih,
membimbing dan mengarahkan orang lain jauh lebih bermanfaat dari pada
membiarkanya, walaupun dengan motif positif, agar terhindar dari dosa.
مالا
يدرك كله لا يترك كله
‘’Sesuatu yang tidak didapatkan semuanya, tidak
boleh tinggal yang paling utama/semuanya’’. Dalam menghadapi kendala, problem,
rintangan apapun namanya dan seberapa berat menghadang, cita-cita tidak boleh
ditinggalkan, cita-cita harus terus diperjuangkan sampai mendapatkan apa yang
diinginkan walaupun tidak maksimal.
دفع
المفسدة مقدم علي جلب المصلحة
‘’Menolak kerusakan didahulukan dari
mendatangkan kemashlahatan’’. Misalnya sebelum kita menjalankan program, maka
yang harus ditinjau terlebih dahulu apakah dampak negatifnya tidak lebih berat
daripada dampak positifnya.
الضرورات
تبيح المحظورات
‘’Keadaan terpaksa membolehkan sesuatu yang
dilarang’’. Misalnya ketika para kyai mengharamkan bank karena terdapat unsur
riba, tapi realitas membuktikan sangat sulit masyarakat lepas dari jasa bank.
ادا تعارض مفسدتان روعي اْعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
‘’Apabilaada kerusakan bertentangan, maka
dijaga bahaya yang paling besar dengan memilih bahaya yang paling sedikit’’.
Contoh kaidah ini adalah diperbolehkanya lokalisasi pekerja seks komersial agar
lebih terkontrol daripada PSK berkeliaran dimana-mana, mengganggu stabilitas
social yang berdampak lebih luas.
الاْحكام تدورمع العلل وجودا
وعدما
‘’Ada dan tidaknya hukum-hukum Allah bergantung dan berputar ada alasanya.
Kalau alasanya ada, maka hukum ada, kalau alasanya tidak ada maka hokum ada’’.[34]
Misalnya, shalat bagi yang tidak mampu berdiri,
diperbolehkan duduk, bagi yang tidak mampu diperbolehkan tidur miring menghadap
kiblat, bagi yang tidak mampu diperbolehkan tidur telentang menghadap kiblat,
bagi yang tidak mampu diperbolehkan dengan isyarah wajah, bagi yang tidak mampu
diperbolehkan dengan mata, bagi yang tidak mampu diperbolehkan dengan hati.
الاْصل في الاْشياء الاءباحة الا ما دل الدليل
علي تحريمها والاْصل في العبادة التحريم اءلا ما دل الدليل علي اءباحتها
‘’Hukum awal dalam segala sesuatu adalah boleh,
terserah kreatifitas dan produktivitas manusia, batasanya adalah jika ada
petunjuk Allah yang melarangnya’’.[35]
Misalnya, tentang aborsi, perdagangan anak,
perbudakan, dan sejenisnya.
D. Kesimpulan/Penutup
Fiqih Sosial adalah fiqih yang berhubungan,
berkaitan dengan problematika social yang meliputi pendidikan, kesehatan,
lingkungan hidup, ekonomi, keilmuan, budaya dan politik, yang konseptualnya
mengacu pada lima prinsip pokok. Istinbath hukum yang dipakai dintaranya :
ijtihad, istihsan, mashlahah dll. Salah satu kaidah yang digunakan adalah ad-daf’u
aula min ar-raf’I, contoh aplikasi kaidah ini berkaitan dengan aspek
kesehatan,bahwa menolak penyakit dengan daya kebal dan daya tangkal yang kuat
itu lebih utama dan mudah dari pada menyembuhkan penyakit yang sudah terlanjur menempel
pada badan manusia.
[1]
Jamal Ma’mur Asmani, 2007. Fiqih
Sosial. (Surabaya : Khalista).hal 18
[2] Fuad, Mahsun. Hukum
Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta:
PT LKis Pelangi Aksara Yogyakarta. 2005
[3]
Jamal Ma’mur Asmani, 2007. Fiqih Sosial. (Surabaya :
Khalista).hal xiii
[4] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1998, hlm. 2.
[5]
Jamal Ma’mur Asmani, 2007. Fiqih Sosial. (Surabaya :
Khalista).hal 248
[6] Ibid
[7] Ahmad bin Asymuni, al-Ijtihad wa al-taqlid, PP.
Hidayah al Tullab, Petuk Semen Kediri, hal. 2-3
[8] Muhammad bin
Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyadul
fuhul ila tahqiqil Haqqi min ilmi Ushul, Darul Fikr, hlm. 250
[9] Forum Karya
Ilmiah 2004, Madrasah Hidayatul Mubtadi’in, Kilas
Balik Teoritis Fiqh Islam, PP. Lirboyo Kota Kediri, cet. Ketiga, April 2006
: hlm 315
[10] Fiqih Sosial ; hal. 251
[11] Q.S. Al-Anbiya’ : 107
[12] Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqih
Taqlid dan Shahwah Islamiyah, Telaah Kritis Tentang Reaktualisasi dan
Kebangkitan Islam, Islamuna Press, 1994 : hlm. 48-49
[13] Prof. Dr. H.
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. 2009.
(Jakarta : Kencana) hal ; 324-325
[14]
Prof. Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu
Ushul FIqih. 1994. (Semarang: Dina Utama Semarang), hal :110
[15]
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin.
Ilmu Fiqh. Hal : 325
[16]
Opcit. Hal : 326
[17]
Fiqih Sosial. Hal : 271-272
[18] Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta :Gaya Media Pratama), 1999.
Hal : 144-148
[19] Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Hal 254
[20] Imam Ghazali, al-Musthashfa. 1: 139-140
[21] Fiqih Sosial. Hal 312
[22] Fiqih social. Hal.323
[23] Fiqih Sosial.
Hal. 327
[24] Baca dalam Hasyiyah Bajuri ala Fathil Qaribil
Mujib, karya Syeikh Ibrahim al Baijuri, Juz 1, hlm 111.
[25] Fiqih Sosial. Hlm. 336
[26] Baca dalam Syekh Jalaludin Al-Shuyuti, Asybah
Wa al-Nazhair, hlm. 63
[27] Baca dalam Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin, juz 4.
Hlm 142
[28] Baca dalam Ali Sabbak, al-Syari’atu wa
al-tasyri’.hlm 96
[29] Baca dalam Asybah wa al-Nazhair. Op.cit.hlm.
63-68
[30] Q.S. An-Nisa : 11
[31] Asybah wa al-Nazhair. Op.cit.hlm 69.
[32] Fiqh Sosial. Hlm. 348-349
[33] Fiqih Sosial.
Hlm 59-62
[34] Fiqih Sosial hlm. 283
[35] Syeikh Abdul
Hamid bin Muhammad, Lathaiful Isyarah, hlm 55-56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar