Minggu, 07 Juli 2013

FIQH SOSIAL



FIQH SOSIAL

A.    Pendahuluan
Fiqih atau Hukum Islam merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu keislaman yang paling mendominasi kehidupan umat Islam. Bidang bahasanya begitu luas, meliputi permasalahan hukum positif ditambah permasalahan yang terkait dengan bidang ibadah. Inilah kekhasan hukum Islam atau fiqih jika dibandingkan dengan hukum positif. Oleh karenanya fiqih memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan tradisi keagamaan. Fiqih seringkali dianggap sebagai warna dasar budaya masyarakat Muslim, sehingga ketika ingin memahami budaya serta system nilai yang ada pada masyarakat Muslim, maka mengetahui bagaimana mereka memahami Fiqih yang memang merupakan sebuah keharusan. Mengingat fiqih memainkan posisi sentral dalam pembentukaan tradisi keagamaan umat Islam, Fiqih sering kali menjadi sasaran tembak pertama saat melihat keterbelakangan masyarakat Muslim.[1]
Syari’at Islam merupakan pengejawantahan dan manifestasi dari aqidah Islamiyah. Aqidah mengajarkan keyakinan akan adanya jaminan hidup dan kehidupan, termasuk kesejahteraan bagi setiap manusia. Jaminan itu pada umumnya mengatur secara terinci cara berikhtiar mengelolanya. Pada prinsipnya tujuan syari’at Islam yang dijabarkan secara terinci oleh para ulama’ dalam ajaran fiqh (fiqh sosial), ialah penataan hal ihwal manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi, kehidupan individual, bermasyarakat dan bernegara.[2]
B.     Rumusan Masalah
Fiqih Sosial merupakan tema yang menarik untuk dikaji, maka dari itu untuk mengetahui lebih banyak tentang fiqih social perlu kita susun beberapa rumusan masalah, diantaranya :
1.      Pengertian Fiqih Sosial
2.      Konsep Fiqih Sosial
3.      Istinbath Hukum
4.      Kaidah dan Implementasinya
C.     Pembahasan
1.      Pengertian Fiqih Sosial
Kepedulian, perhatian, partisipasi aktif Kiai Sahal dalam lapangan ekonomi kerakyatan tidak lepasdari bakat beliau, yaitu fiqih. Beliau ingin membuktikan bahwa fiqih tidak hanya berkaitan dengan ibadah mahdhah (relasi vertical) namun jugamampu mengeluarkan manusia dari jurang kemiskinan dan keterbelakangan. Pergulatan intensif Kiai Sahal dalam mengembangkan fiqih normative ini akhirnya menemukan solusi dengan terobosan yang bernama fiqih social. Yakni fiqih yang berhubungan, berkaitan dengan problematika social yang meliputi pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, ekonomi, keilmuan, budaya dan politik.[3]
2.      Konsep Fiqih Sosial
Fiqih soial mengacu pada lima prinsip pokok, yaitu :
1.)    Interprestasi  teks-teks fiqih secara kontekstual
2.)    Perubahan pola bermadzhab dari qauly (tekstual) ke manhaji (metodologis)
3.)    Verifikasi mendasar mana ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’)
4.)    Fiqih dihadirkan sebagai etika social, bukan hukum positif Negara
5.)    Pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam masalah social dan budaya
3.      Istinbath Hukum
Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari sumbernya. Perkataan ini lebih populer disebut dengan metodologi penggalian hukum. Metodologi, menurut seorang ahli dapat diartikan sebagai pembahasan konsep teoritis berbagai metode yang terkait dalam suatu sistem pengetahuan. Jika hukum Islam dipandang sebagai suatu sistem pengetahuan, maka yang dimaksudkan metodologi hukum Islam adalah pembahasan konsep dasar hukum Islam dan bagaimanakah hukum Islam tersebut dikaji dan diformulasikan.[4]



a.       Ijtihad
1.)    Definisi Ijtihad
Ijtihad secara bahasa diambil dari kata juhdun, yang artinya sukar/sulit dan kekuatan.[5] Ijtihad terjadi ketika kita menemukan hal-hal yang sulit dan membutuhkan kekuatan besar. Adapun menurut istilah ahli fiqih, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan analisis dalam masalah yang tidak dianggap negative. Adapula yang berpendapat bahwa ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan dalam memperoleh hukum syara’ dengan jalan istinbath (menetapkan hukum berdasarkan dalil).
Sebagian ulama mendefinisikan ijtihad dengan menghabiskan daya dan mencurahkan potensi secara maksimal, adakalanya dalam menetapkan hukum-hukum syara’, dan adakalanya dalam menerapkanya. Ijtihad dalam pengertian ini terbagi menjadi dua, salah satunya focus dalam masalah menetapkan hukum-hukum dan penjelasanya. Kedua, focus dalam penerapanya.
Ijtihad yang pertama adalah ijtihad yang sempurna. Ijtihad ini khusus bagi sekelompok kecil dari para ulama yang mencurahkan hidupnya untuk mengetahui hukum-hukum masalah praktis dari dalil secara terperinci. Sebagian ulama berkata, ijtihad macam ini termasuk ijtihad khusus, telah terputus dari beberapa masa. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Sedangkan Imam Hambali berpendapat bahwa ijtihad macam ini tidak pernah lepas dari suatu masa, maka harus ada seorang mujtahid yang sampai pada kedudukan ini.[6]
Bagian kedua adalah ulama yang menyeleksi pendapat dan menerapkan alas an hukum (illat) yang diambil dari pekerjaan-pekerjaan yang bersifat parsial. Maka, pekerjaan mereka disini adalah menerapkan apa yang ditetapkan oleh ulama-ulama pendahulu. Dengan penerapan ini menjadi lebih jelas hukum-hukum masalah yang belum diketahui bagi ulama-ulama pendahulu, pendapat yang memiliki pangkat ijtihad sebuah pendapat didalamnya, dan mengamalkan apa yang ditetapkan orang yang ahli menyeleksi. Kedua itulah yang dinamakan tahqiqul manad (membuktikan adanya tempat menggantungkan hukum).[7]
Menurut Abu Bakar, Ijtihad bias terjadi karena beberapa adanya tiga hal, yaitu :  pertama, Qiyas Syar’I, yaitu ketika illat (causa) tidak menetapkan hukum karena bolehnya adanya illat tanpa hukum. Kedua. sesuatu yang diyakini dalam asumsi orang tanpa illat, seperti ijtihad dalam menentukan waktu shalat. qiblat dan meluruskan nilai barang. Ketiga, Istidlal (mengkaji dalil untuk menjawab masalah) dengan dasar-dasar qaidah (ushul). Istidlal menurut Imam Amudi adalah mencurahkan kemampuan dalam mencari asumsi hukum syara’ (zhannul hukmi al- syar’i) dengan menelusuri jalan yang jiwa pelakunya sudah merasa  tidak mampu menambah lagi hasil pengetahuanya.[8]
Imam Syafi’I mengidentikkan ijtihad dengan qiyas. Ungkapan ini dilontarkan tatkala beliau ditanya seseorang tentang pengertian qiyas dan kaitanya dengan ijtihad. Namun al-Ghazali mengkritisi pandangan ini. Karena ijtihad mempunyai cakupan yang lebih luas daripada qiyas. Sebab ijtihad kadang berupa penalaran akan keumuman cakupan makna nash, interpretasi dari makna-makna tersembunyi, atau metode-metode penggalian hukum lainya, tanpa keterlibatan penalaran analogis (qiyas).[9]
2.)    Syarat-syarat Ijtihad
Mujtahid yang menetapkan hukum disyari’atkan beberapa syarat, yaitu :[10]
a.)    Mengetahui bahasa Arab. Ulama Ushul sepakat atas keharusan mengetahui bahasa Arab, karena al-Qur’an yang turun dengan syari’at ini adalah bahasa Arab, dan karena sunah yang menjadi penjelasannya datang dengan bahasa Arab. Imam Ghazali mendefinisikan ukuran yang wajib diketahui dari bahasa Arab, dengan suatu kemampuan yang bisa memahami dialektika orang Arab dan tradisinya dalam penggunaan, sehingga ia bisa membedakan antara teks yang jelas (eksplisit), terang, global, hakikat, majaz, umum, khusus, muhkam, mutasyabih, muthlaq, muqoyyad, nash dan pemahamanya. Hal ini tidak berhasil kecuali pada orang yang sampai pangkat ijtihad dalam bahasa. Dari sini dipahami, bahwa sesungguhnya al-Ghazali mensyaratkan pengetahuan mendalam dalam bahasa sehingga kedalaman ilmunya sampai pada kedudukaan ijtihad.
b.)    Mengetahui al-Qur’an, hal ini disyaratkan Imam Syafi’I dalam kitab Risalahnya. Hal tersebut karena al-Qur’an merupakan , sumber syari’at, tiang syari’at, dan tali pegangan (hablun) Allah yang diabadikan sampai hari kiamat.Oleh karena itu Ulama berkata, mujtahid wajib mengetahui sedalam-dalamnya ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, sekitar 500 ayat dari al-Qur’an.
c.)    Mengetahui al-Sunah, merupakan syarat yang disepakati para ulama. Maka wajib bagi Mujtahid mengetahui sunah tekstual, perilaku, dan ketetapan dalam setiap tema yang dikajinya menurut ulama yang mengatakan bahwa ijtihad menerima pembagian. Ia harus mengetahui semua sunnah yang mengandung hukum-hukum taklifi (pembebanan), memahaminya, menemukan tujuan-tujuanya dan hubunganya, keadaan yang diucapkan padanya.
d.)   Mengetahui tempat-tempat ijma’ dan tempat-tempat perbedaan.Tempat-tempat ijma’ yang tidak diragukan keberadaanya adalah dasar-dasar pembagian harta mayit.Yang dimaksud disini bukan menghafal seluruh tempat ijma’ sehingga ia mampu menampakannya pada seluruh perilakunya, tetapi setiap persoalan harus dikaji sehingga ia mengetahui tempat ijma’ didalamnya jika ada ijma’, dan tempat perbedaan jika ada perbedaan, serta mengetahui tempat-tempat ijma’ yang disepakati oleh ulama klasik (assalafus shalih). Ia juga wajib mengetahui perbedaan para ahli fiqih, perbedaan fiqih Madinah, metodologi fiqih Iraq, mampu menganalisis analisis untuk menemukan antisipasi dan daya jangkau yang baik, mampu membandingkan antara yang benar dan yang tidak benar, dan mana yang dekat dari al-Qur’an, al-Sunah dan yang jauh darinya..
e.)    Mengetahui qiyas, Imam Syafi’I berkata, sesungguhnya ijtihad adalah mengetahui jalan-jalan qiyas dan metode-metodenya. Ada tiga hal maupun langkah-langkah yang harus dipenuhi untuk memahami qiyas, yaitu : pertama, mengetahui dasar-dasar teks yang didasarkan  diatasnya dan alasan hukum (illat) yang menjadi hukum nash ini. Kedua, mengetahui undang-undang qiyas dan batasan-batasanya. Ketiga, mengetahui metodologi yang dijalankan oleh as Shalafus Shalih dalam mengenal illat hukum dan sifat yang dianggap dasar dan pokok dalam membangun hukum dan mengeluarkan sekelompok hukum-hukum fiqih.
f.)     Mengetahui tujuan hukum. Kita mengetahui bahwa tujuan hukum dalam syari’at Islam adalah kasih sayang pada hamba, ia adalah tujuan yang agung dari Risalah Muhammad. Seperti firman Allah yang ada dalam al-Qur’an, Surat al-Anbiya’ : [11]107,
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ 
Artinya : ‘’dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam’’. (Q.S. al-Anbiya’ : 107)
Kasih sayang universal tersebut menuntut agar syari’at Islam konsisten menegakan kemashlahatan dengan tingkatan-tingkatanya yang berjumlah tiga, yaitu : keharusan, kebutuhan dan kebagusan. Ia juga menuntut untuk menghilangkan kesukaran dan mencegah  kesempitan, memilih yang mudah, tidak sulit, dan sesungguhnya kepayahan yang dimaksud Syar’I adalah kepayahan yang memungkinkan seseorang untuk terus menjalaninya. Adapun kepayahan yang tidak mungkin seseorang terus menjalaninya, syari’at menyuruh untuk menolak bahaya yang besar, seperti berjuang dijalan Allah untuk menolak kerusakan. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi :
tûïÏ%©!$# (#qã_̍÷zé& `ÏB NÏd̍»tƒÏŠ ÎŽötóÎ/ @d,ym HwÎ) cr& (#qä9qà)tƒ $oYš/u ª!$# 3 Ÿwöqs9ur ßìøùyŠ «!$# }¨$¨Z9$# Nåk|Õ÷èt/ <Ù÷èt7Î/ ôMtBÏdçl°; ßìÏBºuq|¹ ÓìuÎ/ur ÔNºuqn=|¹ur ßÉf»|¡tBur ㍟2õム$pkŽÏù ãNó$# «!$# #ZŽÏVŸ2 3 žcuŽÝÇZuŠs9ur ª!$# `tB ÿ¼çnçŽÝÇYtƒ 3 žcÎ) ©!$# :Èqs)s9 îƒÌtã ÇÍÉÈ  
Artinya : ‘’(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa’’. (Q.S. al-Hajj : 40)

g.)    Baik pemahaman dan ciptaanya. Ini adalah instrument untuk mengabdi pada setiap pengetahuan, menghadapkanya, memilih kesalahan pendapat dari yang benar.
h.)    Tujuan dan keyakinan yang benar. Niat yang murni menjadikan hati bersinar dengan cahaya Allah SWT. Ia bisa berjalan terus mencapai intisari agama bijak ini dan menghadap pada hakikat agama, ia tidak mencari dan punya tujuan lain, sesungguhnya Allah menjatuhkan hikmah dihati orang yang ikhlas. Sesungguhnya ikhlas dalam mencari substansi Islam menjadikan pemiliknya berkata aku menemukanya, ia tidak fanatic, tidak memastikan bahwa pendapatnya muthlaq benar, dan pendapat lain muthlak salah.
Adapun menurut Syeikh Yusuf Qardhawi, syarat ijtihad secara ringkas adalah sebagai berikut :
a.)    Menguasai bahasa Arab
b.)    Menguasai Kitabullah dan hadits
c.)    Mengetahui macam-macam ijma’ yang diyakini
d.)   Mennguasai ushul fiqh
e.)    Menguasai metode qiyas
f.)     Paham dalam mengistinbath hukkum
g.)    Menguasai maksud-maksud syari’at dan kaidah-kaidahnya yang kulli (menyeluruh)
h.)    Mempunyai kapasitas mengistimbath (hukum).
i.)      Mengenali manusia (masyarakat).
j.)      Adil dan Tsiqoh.
k.)    Hanya mencari kebenaran hakiki, tidak karena takut penguasa atau pihak lain, tetapi murni untuk mencari kebenaran demi menggapai Ridho Ilahi.[12]
b.      Istihsan
1.)    Arti Istihsan
Secara etimologis istihsan berarti ‘’memperhitungkan sesuatu lebih baik’’,atau ‘’adanya sesuatu yang lebih baik’’ atau ‘’mengikuti sesuatu yang lebih baik’’, atau ‘’mencari yang lebih baik untuk diikuti’’.[13]
Berdasarkan arti diatas dapat disimpulkan bahwa adanya seorang mujtahid yang menghadapi dua hal yang keduanya baik, tetapi ada hal yang mendorongnya untuk meninggalkan satu diantaranya dan menetapkan satu untuk diambil yang lebih baik kemudian diamalkan.
Adapun pengertian istihsan secara istilahi diperselisihkan loleh para ulama, diantaranya sebagai berikut :
a.)    Istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid  dari tuntutan qiyas yang jail (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafiy (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnaiy (pengecualian).[14]
b.)    Definisi istihsan menurut Ibnu Subki diantaranya : pertama, beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas yang lain yang lebih kuat daripadanya (qiyas pertama). Kedua, beralih dari penggunaan sebuah dalil kepada adat kebiasaan karena suatu kemashlahatan.[15]
c.)    Istilah istihsan dikalangan ulama malikiyah diantaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Syatibi (salah satu pakar Malikiyah) : Istihsan dalam madzhab Maliki adalah menggunakan kemashlahatan yang bersifat juz’I sebagai pengganti dalil yang bersifat kulli.[16]
d.)   Definisi istihsan menurut pendapat para murid Imam Hanafi adalah sebagai berikut : pertama, sebagian mereka berpendapat, istihsan adalah dalil yang tampak jelas bagi seorang mujtahid yang tidak mampu untuk diungkapkanya, karena tidak ada redaksi yang membantu. Kedua, sebagian mereka mengatakan bahwa istihsan adalah pindah dari satu qiyas kepada qiyas yang lebih kuat. Ketiga, sebagian dari mereka juga mengatakan bahwa istihsan adalah mengkhususkan qiyas dengan dalil yang lebih kuat. Keempat, Imam Khurkhi berpendapat bahwa istihsan ialah pindah dalam satu masalah yang biasa diberi status hukum, kepada kebalikanya karena ada illat (alasan) yang lebih kuat. Kelima, Abu Husain al-Bisri berpendapat bahwa istihsan ialah meniggalkan metode (wajh) dari beberapa metode ijtihad yang tidak mencakup kandungan teks, karena ada metode yang lebih kuat. [17]
Sedangkan klasifikasi  istihsan menurut madzhab Maliki, sebagai mana tertulis dalam buku yang berjudul fiqih sosial karangan Jamal Ma’mur Asmani, terdapat tiga kesimpulan, yaitu :
a.)    istihsan yang disandarkan dengan ‘Urf.
b.)   istihsan yang disandarkan kepada mashlahah.
c.)    istihsan yang disandarkan pada keadaan untuk menghilangkan kesulitan.[18]
c.       Mashlahah
1.)    Definisi Mashlahah
Mashlahah secara etimologi adalah setiap sesuatu yang menimbulkan suatu perbuatan, berupa hal-hal baik. Sedangkan Musthafa Syalbi menyimpulkan dalam dua pengertian. Pertama, pengertian majaz, mashlahah adalah sesuatu yang menyampaikan pada kemanfaatan. Kedua, secara hakiki, mashlahah adalah akibat yang timbul dari suatu perbuatan yaitu berupa kebaikan ataupun kemanfaatan. [19]Sedangkan Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa mashlalah adalah sesuatu yang bisa mendatangkan kemanfaatan dan menanggulangi kerusakan.[20]
2.)    Fungsi Mashlahah
a.)    Sebagai tujuan hukum Islam
b.)    Sebagai sumber hukum Islam
d.      Tarjih Konstekstual
Tarjih menurut Ibnu Hajib yaitu menyertakan argumentasi yang kuat menurut hipotesis (dalil zhanni) dengan sesuatu yang menguatkannya pada hal yang menentangny. Mayoritas pengikut Imam Hanafi mendefinisikan tarjih dengan menampakkan tambahan pada salah satu dalil yang sama pada yang lain dengan dalil yang tidak bisa berdiri sendiri. Sedangkan pengkaji madzhab Syafi’I mendefinisikan tarjih dengan menguatkan salah satu dalil dzanni (mendekati yakin) untuk diamalkan.[21]
Dalam hukum Islam tarjih dianggap menarik karna pendapat dan pemikiran para ulama yang sangat beragam, menjadikan peluang untuk kita pilih pendapat yang lebih unggul (rajih) demi untuk menggapai kemashlahatan umat didunia maupun diakhirat.

e.       Menggagas Talfiq Manhaji
Para ulama membahas persoalan talfiq, ada yang mengatakan bahwa talfiq dilarang muthlak, karena barangsiapa yang sudah mengikuti madzhab tertentu, maka ia tidak boleh berpaling ke madzhab yang lain. Kedua, memperbolehkan talfiq asal tidak dalam satu masalah (qadhiyyah). Ketiga, memperbolehkan secara muthlak.[22]
Dari ketiga pendapat diatas yang paling menarik adalah pendapat ketiga, karena banyak sandaran ayat dan qaidah prinsip yang bisa dijadikan pijakan, misalnya ayat al-Qur’an yang artinya : ‘’Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu’’ (Q.S. Aal-Baqoroh : 185), dan ‘’Allah tidak menjadikan padamu dalam masalah agama suatu kesulitan’’ (Q.S. al-Haj : 78). Kemudian hadits Nabi menyatakan ‘’Berilah kemudahan dan jangan mempersulit’’ (H.R. Ahmad dan Nasai).
Berdasarkan dua sumber hukum primer diatas dapat disimpulkan bahwa sangat jelas mendorong umat Islam menerapkan prinsip kemudahan dalam ajaran agama, sehingga talfiq tidak dilarang.  
Dalam kitab salaf, talfiq (mencampur beberapa pendapat) dilarang dalam satu qadhiyyah (satu masalah) dan berorientasi tatabbu ur rukhas (mencari yang ringan-ringan saja). Misalnya ketika wudhu dan memegang perempuan mengikuti Imam Hanifah, lalu cantuk (mengeluarkan darah dari badan dengan alat tertentu) mengikuti Imam Syafi’I, lalu shalat, maka status shalatnya tidak sah menurut kedua imam.[23]
f.       Revitalisasi Metode Istiqra’ Imam Syafi’i
Devinisi Istiqro’ adalah memberikan justifikasi hukum secara universal (kulliyah) pada sebuah masalah, setelah melakukan penelitian mendalam, akurat pada mayoritas masalah tersebut secara partikularistik (juz’iyyah). Misalnya menghukumi bahwa semua hewan kalau makan menggerakan gigi gerahamnya yang bawah,hal ini disimpulkan berdasarkan setelah meneliti banyak hewan yang menggerakan gigi gerahamnya ketika makan.
Aplikasi Istiqro’ Imam Syafi’I dalam masalah haid, nifas, dan istihadhah yaitu setelah meneliti perempuan-perempuan Arab, tidak semua perempuan didunia, juga tidak semua perempuan yang hidup pada masanya, Imam Syafi’I menyimpulkan, bahwa jumlah minimal haid (aqallu haidhi) sehari semalam (yaumun walailatun) atau 24 jam, jumlah maksimalnya (aktsaruhu) 15 hari, dan kebiasaanya (ghalibuhu) 6 atau 7 hari. Jumlah minimal nifas (aqallu al nifasi) waktu yang sangat sebentar (lahzatun), maksimalnya (aktsaruhu) 60 hari dan biasanya (ghalibuhu) 40 hari. Jika ada darah yang keluar selain ketentuan diatas dinamakan darah istihadhah (darah penyakit) yang tidak mengganggu keabsahan sholat. [24]Istiqro’ Imam Syafi’I mayoritas membahas tentang problem kemanusiaan, khususnya problem kewanitaan yang menjadi referensi berharga pada ilmu kedokteran. Adapun metode yang digunakan oleh Imam Syafi’I adalah sebagai berikut :[25]
1.)    Bertanya secara langsung dari satu wanita ke wanita lain.
2.)    Menganalisa data yang masuk secara cermat dan teliti.
3.)    Penelitian sudah sampai pada tahap konklusi sementara, melakukan generalisasi dan uji public.
4.)    Mengoreksi kekurangan, kesalahan, kelemahan dan ketidaksempurnaan berdasarkan respon public yang beragam.
5.)    Setelah dikoreksi berulang-ulang, maka diibuatlah kesimpulan final.
Beberapa syarat yang harus dimiliki oleh para fuqoho dalam melakukan istiqro’ kontemporer yaitu,
1.)    Pendalaman wawasan kemasyarakatan atau sosiologisnya.
2.)    Pendalaman wawasan medis, biologisnya.
3.)    Pendalaman wawasan kebudayaan.
4.)    Penguasaan metodologi yang ilmiyah, analitis dan professional.
5.)    Pendalaman dan pematangan metode generalisasi, konklusi, uji public, koreksi, komparasi, eksperimentasi, dan membuat konklusi yang valid, konfrehensif dan universal.

g.      ‘Adah Muhakkamah
Salah satu kaidah sumber hukum Islam yang aspiratif, akomodatif dan fleksibel adalah ‘adah muhakkamah,[26] yaitu tradisi yang berkembang dimasyarakat menjadi landasan dan sumber penetapan hukum. Tradisi sutau masyarakat dapat berkembang, berbeda dan berubah sesuai dengan tingkat peningkatan ekonomi, social, pendidikan dan politik warganya. Perubahan semacam ini membuat hukum harus proaktif mengikutinya, sehingga tidak out of date. Kaidah ini dalam rangka menghantarkan substansi aplikasi hukum Islam yang harus membawa misi vitalnya, yaitu menciptakan mashalihul ‘ibad, kemashlahatan hamba Allah. Kemashlahatan adalah sesuatu yang mendorong kepada kebaikan (positif0 dan menghindari kejelekan (negative). Salah satu indicator mashlahah bagi manusia adalah tercukupinya kebutuhan primer, sandang, pangan dan papan. Dalam bahasa agama, indicator keberhasilan mashlahah adalah apabila mampu memenuhi lima hak dasar manusia, yaitu menjaga kebebasan beragama (hifzhu al-din), melindungi keselamatan jiwa (hifzhu al-nafs), menjaga keamanan harta (hifzhu al-mal), menjaga kebebasan berfikir (hifzhu al-aqli), menjaga kelangsungan keturunan dan prestise (hifzhu al-nasli wa al-irdh). Untuk menjaga realisasi lima hak dasar ini, Islam mempunyai banyak instrument. Qishas disyari’atkan untuk menjaga keselamatan jiwa, orang murtad dibunuh untuk menjaga agama, zina dihukum untuk menjaga nasab, orang yang menuduh zina dihukum untuk menjaga diri, mencuri dihukum untuk menjaga harta, dan minum-minuman keras dihukum untuk menjaga akal.[27]
‘Adah adalah sesuatu yang berullang-ulang. ‘Adah sama dengan ‘urf, yaitu sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik ucapan, melakukan perbuatan, atau meninggalkanya. Sedangkan sebagian ahli fiqh berpendapat bahwa ‘adah lebih umum dari pada ‘urf, artinya semua ‘urf adalah ‘adah, dan tidak semua ‘adah adalah ‘urf.[28] Salah satu contoh kaidah ‘adah muhakkamah ini adalah batas minimal-maksimal haid, minimal usia wanita haid, mengambil buah yang runtuh, menjaga harta yang dicuri, transaksi jual beli tanpa ijab-qabul (mu’athah), pekerjaan para  tukang, waktu menggembala hewan, makan sogatan tamu tanpa dipersilahkan terlebih dahulu, puasa hari syak (ragu), hari libur sekolah mulai nisfu sya’ban (15 ruah) sampai ramadhan.[29]
Pembagian ‘adah/ urf dibagi dalam beberapa aspek. Aspek pertama berupa qauly dan amaly, urf qauly (kebiasaan yang berupa ucapan), misalnya kebiasaan manusia menggunakan kata ‘waladun’ pada anak laki-laki, bukan perempuan, walaupun kata waladun secara bahasa bisa digunakan untuk keduanya (laki-perempuan), misalnya firman Allah :[30]
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# s
Artinya : ‘’ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan’’.
‘Urf amaly (kebiasaan berupa pekerjaan), misalnya kebiasaan manusia kalau membeli tanpa ada transaksi (ijab-qabul), tapi langsung memberikan uang (dalam khazanah fiqih ini dinamakan ba’I mu’athah).[31] Kedua, dari aspek keumumanya, ‘urf ‘Am (kebiasaan umum), yaitu kebiasaan manusia dalam semua Negara disatu waktu, misalnya kebiasaan manusia dalam masalah mandi, kebersihan, tanpa dibatasi hitungan dalam seminggu. ‘Urf khas (kebiasaan khusus), yaitu kebiasaan yang ada pada sebagian penduduk Negara, misalnya pada sebagian daerah ada kebiasaan mempercepat pemberian maskawin dan sebagian daerah yang lain menundanya. Ketiga berdasarkan aspek sah dan rusaknya, yaitu ‘urf shahih (kebiasaan yang sah), yaitu kebiasaan yang tidak bertentangan dengan ketentuan nash dari beberapa nash syari’at dan tidak juga bertentangan dengan satu kaidah dari beberapa kaidah syari’ah, walaupun dalam masalah tersebut tidak ada nash khusus. Selanjutnya ‘urf fasid (kebiasaan rusak) yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan hukum-hukum syari’at dan kaidah-kaidah yang tetap, misalnya kebiasaan manusia melakukan banyak kemungkaran, seperti transaksi riba, minum khamr (minuman keras), judi dan sebagainya.[32]
4.      Kaidah Fiqih Sosial dan Implementasinya
Kaidah yang sangat popular digunakan dalam fiqih sosial adalah sebagai berikut :[33]
تصرف الاءمام على ا لرعية منو ط با لمصلحة
‘’Kebijakan pemimpin kepada rakyatnya harus sesuai dengan kemashlahatan/ kesejahteraan rakyatnya’’. Kaidah ini mengharuskan kepada pemimpin untuk menegakkan keadilan, memprioritaskan orang/ kelompok yang lebih membutuhkan. Kelompok yang sangat membutuhkan adalah petani, nelayan, pedagang kaki lima, buruh dsb.
ا لمعتدى افضل من القا صر
‘’Sesuatu yang multifungsi dan multi effect lebih utama dari sesuatu yang manfaatnya terbatas’’. Sesuatu tersebut bias dalam bentuk ilmu, harta, jabatan, kekuasaan, perkataan, kegiatan dan organisasi.  Orang yang mahirdalam bidang ekonomi, sehinggamampu membuat lapangan pekerjaan bagi pengangguran jauh lebih utama daripada orang yang bias bekerja hanya untuk dirinya sendiri.
ا لتاْ سيس اولي من التاْكيد
‘’Merintis itu lebih utama daripada menguatkan’’
Jiwa dan mental kepeloporan adalah salah satu kemampuan yang  langka. Kaidah ini mengharuskan umat islam menjadi umat terdepan dalam apapun, misalnya mendirikan perpustakaan desa, membuat kelompok petani yang solid. Hal ini lebih baik dari menguatkan sesuatu yang sudah ada, manfaatnya lebih besar merintis sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak.
اعمال الكلام اولي من اهماله
‘’Memfungsikan perkataan lebih utama daripada membiarkanya’’. Ucapan untuk mengajar, diskusi, melatih, membimbing dan mengarahkan orang lain jauh lebih bermanfaat dari pada membiarkanya, walaupun dengan motif positif, agar terhindar dari dosa.
مالا يدرك كله لا يترك كله
‘’Sesuatu yang tidak didapatkan semuanya, tidak boleh tinggal yang paling utama/semuanya’’. Dalam menghadapi kendala, problem, rintangan apapun namanya dan seberapa berat menghadang, cita-cita tidak boleh ditinggalkan, cita-cita harus terus diperjuangkan sampai mendapatkan apa yang diinginkan walaupun tidak maksimal.
دفع المفسدة مقدم علي جلب المصلحة
‘’Menolak kerusakan didahulukan dari mendatangkan kemashlahatan’’. Misalnya sebelum kita menjalankan program, maka yang harus ditinjau terlebih dahulu apakah dampak negatifnya tidak lebih berat daripada dampak positifnya.
الضرورات تبيح المحظورات
‘’Keadaan terpaksa membolehkan sesuatu yang dilarang’’. Misalnya ketika para kyai mengharamkan bank karena terdapat unsur riba, tapi realitas membuktikan sangat sulit masyarakat lepas dari jasa bank.
ادا تعارض مفسدتان روعي اْعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
‘’Apabilaada kerusakan bertentangan, maka dijaga bahaya yang paling besar dengan memilih bahaya yang paling sedikit’’. Contoh kaidah ini adalah diperbolehkanya lokalisasi pekerja seks komersial agar lebih terkontrol daripada PSK berkeliaran dimana-mana, mengganggu stabilitas social yang berdampak lebih luas.
الاْحكام تدورمع العلل وجودا وعدما
‘’Ada dan tidaknya hukum-hukum Allah bergantung dan berputar ada alasanya. Kalau alasanya ada, maka hukum ada, kalau alasanya tidak ada maka hokum ada’’.[34]
Misalnya, shalat bagi yang tidak mampu berdiri, diperbolehkan duduk, bagi yang tidak mampu diperbolehkan tidur miring menghadap kiblat, bagi yang tidak mampu diperbolehkan tidur telentang menghadap kiblat, bagi yang tidak mampu diperbolehkan dengan isyarah wajah, bagi yang tidak mampu diperbolehkan dengan mata, bagi yang tidak mampu diperbolehkan dengan hati.
الاْصل في الاْشياء الاءباحة الا ما دل الدليل علي تحريمها والاْصل في العبادة التحريم اءلا ما دل الدليل علي اءباحتها
’Hukum awal dalam segala sesuatu adalah boleh, terserah kreatifitas dan produktivitas manusia, batasanya adalah jika ada petunjuk Allah yang melarangnya’’.[35]
Misalnya, tentang aborsi, perdagangan anak, perbudakan, dan sejenisnya.

D.    Kesimpulan/Penutup
Fiqih Sosial adalah fiqih yang berhubungan, berkaitan dengan problematika social yang meliputi pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, ekonomi, keilmuan, budaya dan politik, yang konseptualnya mengacu pada lima prinsip pokok. Istinbath hukum yang dipakai dintaranya : ijtihad, istihsan, mashlahah dll. Salah satu kaidah yang digunakan adalah ad-daf’u aula min ar-raf’I, contoh aplikasi kaidah ini berkaitan dengan aspek kesehatan,bahwa menolak penyakit dengan daya kebal dan daya tangkal yang kuat itu lebih utama dan mudah dari pada menyembuhkan penyakit yang sudah terlanjur menempel pada badan manusia.






[1]  Jamal Ma’mur Asmani, 2007. Fiqih Sosial. (Surabaya : Khalista).hal  18
[2] Fuad, Mahsun. Hukum Islam Indonesia Dari Nalar Parsipatoris Hingga Emansipatoris. Yogyakarta: PT LKis Pelangi Aksara Yogyakarta. 2005

[3] Jamal Ma’mur Asmani, 2007. Fiqih Sosial. (Surabaya : Khalista).hal  xiii
[4] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 2.
[5] Jamal Ma’mur Asmani, 2007. Fiqih Sosial. (Surabaya : Khalista).hal  248
[6]  Ibid

[7]  Ahmad bin Asymuni, al-Ijtihad  wa al-taqlid, PP. Hidayah al Tullab, Petuk Semen Kediri, hal. 2-3

[8] Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyadul fuhul ila tahqiqil Haqqi min ilmi Ushul, Darul Fikr, hlm. 250

[9] Forum Karya Ilmiah 2004, Madrasah Hidayatul Mubtadi’in, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, PP. Lirboyo Kota Kediri, cet. Ketiga, April 2006 : hlm 315

[10]  Fiqih Sosial ; hal. 251
[11]  Q.S. Al-Anbiya’ : 107
[12]  Dr. Yusuf Qardhawi, Fiqih Taqlid dan Shahwah Islamiyah, Telaah Kritis Tentang Reaktualisasi dan Kebangkitan Islam, Islamuna Press, 1994 : hlm. 48-49

[13] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. 2009. (Jakarta : Kencana) hal ; 324-325

[14]  Prof. Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul FIqih. 1994. (Semarang: Dina Utama Semarang), hal :110

[15]  Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin. Ilmu Fiqh. Hal : 325

[16]  Opcit. Hal : 326

[17]  Fiqih Sosial. Hal : 271-272

[18] Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, (Jakarta :Gaya Media Pratama), 1999. Hal : 144-148

[19] Kilas Balik Teoritis Fiqih Islam. Hal 254

[20] Imam Ghazali, al-Musthashfa. 1: 139-140

[21] Fiqih Sosial. Hal 312
[22] Fiqih social. Hal.323
[23] Fiqih Sosial. Hal. 327

[24]  Baca dalam Hasyiyah Bajuri ala Fathil Qaribil Mujib, karya Syeikh Ibrahim al Baijuri, Juz 1, hlm 111.
[25]  Fiqih Sosial. Hlm. 336
[26]  Baca dalam Syekh Jalaludin Al-Shuyuti, Asybah Wa al-Nazhair, hlm. 63
[27]  Baca dalam Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin, juz 4. Hlm 142

[28]  Baca dalam Ali Sabbak, al-Syari’atu wa al-tasyri’.hlm 96

[29]  Baca dalam Asybah wa al-Nazhair. Op.cit.hlm. 63-68
[30]  Q.S. An-Nisa : 11

[31]  Asybah wa al-Nazhair. Op.cit.hlm 69.
[32]  Fiqh Sosial. Hlm. 348-349

[33] Fiqih Sosial. Hlm 59-62
[34] Fiqih  Sosial hlm. 283
[35] Syeikh Abdul Hamid bin Muhammad, Lathaiful Isyarah, hlm 55-56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar